Jatuh-Bangun Keuangan Seorang Guru Freelance



Lulus 4 tahun, begitu wisuda mendapat pekerjaan, langsung bekerja berharap merdeka ekonomi, namun dengan status hanya sebagai “freelancer”. Apakah worth it?

Begitulah diriku. Aku seorang guru, bekerja siang-malam mengajar anak-anak sekolah. Riwayat pendidikanku juga guru. Tidak ada masalah sebagai guru. Hanya mungkin sedikit income yang didapatkan. 

Aku tidak sedang mengeluh saat menulis di blog ini. Malahan aku bersyukur dengan apa yang aku dapat selama 1,5 tahun pascakelulusan. Aku bisa membeli barang-barang yang dulu saat kuliah tidak mampu aku beli, bahkan walau dengan menabung berbulan-bulan. Namun rasanya kalau aku mundur 2 tahun kebelakang – saat aku muda tidak tahu mau kemana – pekerjaan guru bukanlah impian. Gaji yang dibawah UMR meski bekerja siang-malam. 

Akan aku ceritakan kisahku…

Aku kuliah dibidang pendidikan dengan harapan sebelum lulus sudah bekerja. Dan memang benar aku telah mengajar sejak usia 19 tahun – semester 3 kuliah. Namun yang tidak aku pikirkan adalah upahnya. Upah pertamaku mengajar ialah Rp27.000,00 di tahun 2015. Dengan upah itu aku harus mengajar seorang anak SD kelas IV selama 90 menit yang jarak rumahnya 10km dari rumahku. Saat itu aku masih naif, tidak mengejar uang dan hanya bertumpu pada keikhlasan dan pengalaman sebagai guru. Apakah menyenangkan? Ya menyenangkan pada awalnya. Namun kemudian musim hujan menyerang, panas menerpa, dan PHP pun datang. Beberapa kali aku datang ke rumah muridku namun ternyata rumah itu kosong. Jarak 20km yang aku tempuh pulang-pergi sia-sia – akupun tidak dibayar ganti rugi. Kemudian cuaca yang tidak menentu. Pernah aku sampai kebanjiran saat pulang; terciprat genangan air dari selokan. Aku menangis kalau memikirkannya. Aku mengeluh pada Yang Kuasa, “Ya Tuhan, apakah mencari uang sesulit ini?”. Belum pula soal bayaran yang kadang dibayarkan 2 bulan sekali. Semakin sedih hidup ini.
Namun dengan dalih bahwa “mahasiswa harus bisa bekerja dengan keringatnya” maka aku teruskan pekerjaan mengajar ini. Aku mendapat murid lagi kemudian, dengan bayaran yang lebih besar, Rp37.000,00, murid SMA dan rumahnya dekat kampus. Bayaran yang naik 10ribu ini menyenangkanku. Meski PHP dari murid masih terjadi :( Kemudian aku mendapat murid lagi dengan bayaran Rp33.000,00 lumayan dekat dengan rumah. Alhamdulillah Allah memberikan rezeki. Kalau dihitung-hitung sebulan aku hanya mendapatkan Rp240.000,00 (sudah dikurangi uang bensin). Bagiku itu uang yang lumayan. Paling tidak aku dapat membeli pulsa dan makan siang sebulannya. 

Aku menjalani pekerjaan sebagai guru les privat sampai aku lulus ditahun 2018. Aku masih menerima 2 siswa sampai aku hentikan total semuanya diawal tahun 2019. Kenapa aku hentikan rezeki ini? 

Alasanku sederhana: aku harus upgrade gaji. Bukan bermaksud kapitalis, namun aku realistis. UMR Jogja kala itu Rp1.800.000,00 perbulan. Dan saat itu aku telah menjadi sarjana, yang mana titel baruku harus diperhitungkan. Aku tidak ingin semua capaianku “hanya dihargai” tak sampai Rp500.000,00 perbulan – yang amat sangat jauh dari UMR. Lagipula, aku telah mendapatkan pekerjaan dengan bayar diatas UMR meski berstatus sebagai “freelancer” disuatu instansi pemerintah. Apalagi setelah aku hitung-hitung, pengeluaranku paling tidak Rp1,2juta perbulan (aku mulai getol menganalisis keuangan setelah wisuda). Mau tidak mau aku harus cari cara mencukupi kehidupanku. 

Hal yang paling nyata aku rasakan ialah, pada suatu ketika setelah les aku mendapat upah Rp33.000,00 yang langsung dibayarkan ibu muridku. Jam masih menunjukkan pukul 19.00, dan aku telah berjanji pada seorang temanku untuk jalan-jalan ke Malioboro. Dengan berbekal uang itu, aku masuk mall dan tertarik dengan sate cumi. Saat itu memang sedang booming sate-sate taichan, dan aku amat sangat tertarik mencobanya. Aku melihat papan harga dan hatiku langsung mecelos, “sate cumi 35k/tusuk”. Aku pandangi uang yang pegang, kurang 2ribu. Padahal aku belum bayar parkir. Dan itu baru sate satu tusuk, belum minumnya. Aku sedih bukan kepalang. Keringatku mengajar 90 menit bahkan tidak mampu untuk membeli sate cumi impianku. Aku jadi teringat masa TK ku dimana diberi uang saku ibu Rp300,00. Saat itu aku mengurungkan niatku untuk membeli sate usus yang harganya sama dengan uang sakuku. Anak-anak lain makan sate usus itu banyak-banyak karena ibu mereka disamping mereka menunggui mereka sekolah. Sedang aku sejak awal tidak pernah ditunggui orang tua, dan harus puas dengan jajan ciki-ciki 2 bungkus (@Rp100,00) dan es apolo 1 biji seharga Rp100,00 untuk bekal perjalanan pulang (aku jalan kaki saat pulang dari TK ke rumah yang jaraknya 1km). 

*dititik ini air mataku mengalir :’(

Kembali pada sate cumi. Keinginan mengalahkan uang yang pegang. Aku merelakan uang didompetku yang aku anggarkan untuk kebutuhan mendadak. Alhasil sate cumi aku dapatkan. Namun pikiran tentang bayar masih terngiang-ngiang di kepalaku. Apa yang harus aku lakukan?
Aku bertekad tidak mau menjadi guru disekolah. Lebih mengerikan menjadi guru honorer (no offense ya). Dari cerita-cerita temanku, guru honorer hanya digaji seminggu tapi bekerja sebulan. Contohnya, dalam seminggu seorang guru mengajar 24 jam dengan bayaran Rp30k/jam. Maka dalam seminggu dia akan mendapat Rp720k sehingga sebulan akan mendapat Rp2,88juta. Namun tidak. Selama sebulan itu guru hanya akan mendapat Rp720k saja. Bagaimana hitung-hitungan ini bisa terjadi? Bagaimana bisa orang bekerja sebulan namun gaji hanya dihitung seminggu? Well begitulah kenyataannya (namun memang ada sekolah yang sistemnya UMR maupun bayaran perjam seperti guru les). 

Setelah luntang-luntung dari tahun 2015 – 2018 sebagai guru les, Tuhan mengubah takdirku. Aku bersyukur sekali entah bagaimana lagi aku bersyukur. Alhamdulillah aku mendapat pekerjaan sebagai guru di sebuah instansi universitas. Selain itu, aku juga mendapat pekerjaan mengajar sebagai guru les disebuah bimbel. Keduanya menghasilkan upah diatas UMR. Bagaimana aku bisa mendapatkan 2 pekerjaan itu? Aku tidak pernah mengira, bahkan membayangkannya saja tidak. Namun berkat rahmat Yang Kuasa, aku dilancarkan mencari kerja dan mendapat upah yang layak. Kini aku bisa membeli sate cumi tanpa perlu menangis. Kini aku bisa membeli skincare tanpa perlu menabung. Walau gaji yang aku dapatkan tidak bisa dibilang WOW, paling tidak sesuai dengan keringat yang aku kucurkan. Maka dari itu aku berani melepaskan diri sebagai guru les privat. Namun aku tetap berterima kasih pernah menjadi guru privat yang mengajarkanku cara menghargai uang. Aku tetap aku, hanya membeli barang yang aku butuhkan dan tidak akan membeli barang ketika barang yang aku punya masih ada. 

Terima kasih Tuhan telah Engkau ajarkan padaku pelajaran hidup.

Komentar