Resensi Novel The Castle in the Pyrenees Karya Jostein Gaarder




Rasanya tidak lengkap menyelami hidup ini tanpa karya filosofis penulis Dunia Sophie. Yep, berburu novel pada harbolnas pertengahan tahun kemarin diriku mendapatkan novel terbaru Gaarder (karena banyaknya kerjaan jadi baru bisa membacanya liburan natal ini >.<). Cerita yang masih berkutat mengenai eksistensi diri diresapi dengan jalan cerita alur mundur ke 30 tahun sebelum setting berlangsung. Benar-benar ciri khas Gaarder! Bagi kalian yang baru mengenal Gaarder dan mengharapkan novel yang penuh konflik dan diakhiri dengan satu resolusi, well jangan membaca novel ini.  

Gaarder adalah seorang penulis yang selalu menyisipkan cerita mengenai hakikat hidup dan lingkungan. Jadi terkadang bosan untuk membacanya apabila dikau sedang semangat-semangatnya. Justru bacalah saat dikau sedang lelah dan banyak masalah karena kita sebagai pembaca akan diajak merenungi sebenarnya kenapa kita hidup di dunia ini. 

The Castle in the Pyrenees menceritakan kisah dua orang mantan kekasih bernama Steinn dan Solrun yang telah hidup bersama sejak usia 19 tahun. Lima tahun bersama, Steinn dan Solrun menjalani hidup yang indah layaknya kekasih yang sedang cinta-cintanya. Namun, suatu kejadian tabrak lari – yang Solrun yakini telah membuat si korban tewas – membuat mereka harus berpisah. Tiga puluh tahun kemudian, Steinn dan Solrun bertemu kembali di sebuah hotel tempat mereka menginap terakhir kali sebagai sepasang kekasih. Meski kini mereka berdua telah menua dan memiliki keluarga masing-masing, gejolak cinta mereka masih memercik. Akhirnya setelah bincang-bincang sesaat mereka sepakat untuk saling berkirim e-mail, dengan catatan setelah membaca e-mail masing-masing harus menghapus isi e-mail tersebut sebelum membalasnya. Keduanya sepakat dengan cara inilah jalinan hubungan mereka tidak akan ketahuan oleh masing-masing pasangan. Cara ini dinilai efektif untuk nostalgia kenangan-kenangan mereka saat bersama dahulu. Banyak hal-hal yang mereka bicarakan, yang tentunya berkaitan dengan filosofis hidup mereka sebelum kecelakaan tersebut terjadi. 

Novel ini disusun dengan dua sudut pandang; Steinn dan Solrun yang saling berbincang lewat e-mail. Setengah lebih bagian novel digunakan untuk menceritakan kenangan 5 tahun mereka bersama sedang separuh bagian lainnya digunakan untuk memperdebatkan kejadian pascakecelakaan. Mereka telah berjanji untuk tidak mengungkit-ungkit kembali kejadian tersebut, namun setelah tiga puluh tahun berlalu dan telah dipastikan bahwa tidak ada satupun laporan kecelakaan tersebut, mereka mereset kembali cerita itu. 

Gaarder tidak secara gamblang memberikan jawaban akan kejadian maut itu. Justru, pembacalah yang diminta menafsirkan sendiri apakah benar telah terjadi tabrakan atau tidak; bahkan Steinn dan Solrun sampai di akhir ceritapun memiliki pendapat yang berbeda. Solrun percaya mereka telah menabrak si Wanita Whortleberry (wanita bersyal merah jambu yang mereka tabrak) hingga meninggal karena arwah wanita tersebut kemudian menampakkan diri didepan mereka saat mereka sedang berlibur. Namun Steinn menyakini bahwa mereka tidak menabrak apapun karena tidak ada bukti fisik seperti darah yang berceceran dan jenazah wanita yang seharusnya ada dilokasi kejadian, ditambah pula laporan kepolisian yang mengungkapkan kenihilan laporan kecelakaan. Perdebatan dua kekasih itu yang kemudian menjalar kepada hakikat hidup; apakah hidup ini secara alami ada atau ada campur tangan yang lebih Kuasa yang mengatur hidup ini?

Topik berat cerita ini tentu lebih besar ketimbang kejadian kecelakaan yang terjadi. Seolah-olah, kejadian fisik hanya digunakan sebagai perantara saja untuk menyampaikan cerita filosofis. Sangat khas sekali karya Gaarder (bagi yang sudah membaca karya-karya beliau yang lain pasti sudah hafal dengan taktik ini). Secara umum, saya menyukai novel ini walau masih yang menjadi favorit adalah Dunia Sophie. Untuk kalian yang membutuhkan suntikan perenungan rohani, saya rekomendasikan untuk membaca novel ini!

Komentar