Anak Penjaja Kerupuk Keliling

Source: pinterest

Entah sudah berapa belas tahun aku selalu melihat si penjaja kerupuk keliling. Masih sama dengan gerobak warna birunya beliau berjalan kaki keliling desa menjual kerupuk. Tahukah kalian kerupuk sabar? Ya, itulah dagangannya. Semuanya masih sama sejak aku TK hingga aku bekerja, yang berbeda adalah wajahnya yang kian tua. 
Aku sering bertanya dalam hati, kenapa bisa seseorang bertahan dengan pekerjaan monoton yang itu-itu saja. Misal diriku ini yang seorang pengajar. Pagi sampai malam aku habiskan waktu dengan para siswa dan setumpuk buku dan ketikan yang menggunung. Yetaku baru bekerja officially2 tahun dan sudah bosan, ingin berpindah profesi. Apa mungkin aku masih terlalu muda untuk menerima gerakan rutinitas yang sama? Well, bisa jadi. Mungkin aku perlu memandang dari sudut pandang lain, seperti sudut pandang penjual kerupuk ini, yang berjalan kaki tidak kenal lelah dengan topi khasnya dan handuk menyampir di bahu selama 20 tahun lebih. Aku yakin pasti lebih karena aku tidak bisa mengingat kenangan diatas 20 tahun lalu. Namun bukan masalah pekerjaan tetap ini yang ingin aku perbincangkan. Tapi aku ingin membicarakan anaknya yang adalah temanku TK. 
Jangan bingung dengan permainan bahasaku. Itu bukan judul sinetron Indosiar. Temanku TK adalah anak dari si pedagang kerupuk keliling. Aku sudah lupa namanya; namun dia adalah anak perempuan yang manis dan sopan, juga dewasa menurutku. Mungkin kita sebut saja namanya Lila. Lila satu TK denganku tidak lama. Mungkin saat aku di TK Nol Besar. Aku kurang tahu mengapa Lila masuk ke TK ku; hal yang aku anggap aneh karena rumahnya ada di kelurahan J, sekitar 6 kilometer dari TK kami. 
Satu hal yang membuatku dekat dengannya adalah sikapnya. Kami masuk TK pukul 8 dan pulang pukul 10. Namun tidak dengan Lila. Dia akan pulang diatas jam 12 karena menunggu orang tuanya menjemput. Aku tidak ingat siapa yang menjemputnya, mungkin ibunya karena ayahnya di siang hari seperti itu masih berkeliling kecamatan jualan kerupuk.  Biasanya selepas jam 10 aku langsung pulang berjalan kaki. Namun terkadang aku tidak mau pulang awal; buat apa pulang awal tohjam segitu Teletubbies di Indosiar sudah selesai tayang. Jadi aku sering putuskan untuk nongkrong dulu dengan Lila di utara TK. 
Lila tidak pernah menunggu jemputan di sekolah. Dia akan ‘mengungsi’ ke rumah warga dan bermain dengan anak-anak kecil disana. Aku kagum dengan keberanian Lila untuk bergabung dengan anak-anak asing itu. Dia dengan tanpa segan langsung menyapa anak-anak dan mengajak mereka bermain pasir atau petak umpet. Aku tidak pernah punya keberanian untuk memulai perkenalan hingga belasan tahun kemudian, namun temanku satu ini kecerdasan emosionalnya bagus. Apabila anak-anak itu sudah lelah bermain, Lila lalu akan duduk diam di buk atas kali, menunggu dengan tenang untuk dijemput. Lalu mulailah dia bercerita mengenai ayahnya yang harus berjalan kaki jauh untuk berjualan. Dari situlah aku semakin tahu mengenainya (mohon maaf sekali aku tidak ingat lagi apa yang dia ceritakan. Aku benar-benar tidak ingat, aku baru berumur 5 tahun saat itu. Dan aku belum bisa baca-tulis sehingga tidak memiliki diari yang dapat aku buka dimasa kini). 
Kembali ke masa sekarang. Sering sekali saat aku berangkat ke kampus, aku melihat ayah Lila berjalan mendorong gerobak kerupuknya. Jalannya tidak lagi setegap dahulu. Kini bapak tersebut berjalan pelan dan agak membungkuk. Namun semangatnya untuk bekerja tidak jua hilang. Sebenarnya ingin sekali aku menanyakan kabar anaknya. Seperti apakah Lila saat ini? Harusnya dia telah dewasa sepertiku. Namun sepertinya sifat tertutupku mencegahku melakukannya. Sayang sekali pula aku tidak memiliki satu foto pun saat TK. Ditambah TK ku sudah tidak berbekas. Ya, hanya memori kecil ini yang masih tersisa. 

Komentar