Let me tell you something about my childhood. It’s not about happy nor sad memories but rather it’s about a worthy life value.
Source: pinterest
Saat aku TK, aku berteman dengan seorang anak laki-laki yang usianya mungkin 2 tahun dibawahku. Aku tidak ingat persis selisih usia kami. Yang aku ingat ialah kalau kakaknya setahun diatasku dan temanku ini adik tingkatku. Kami berteman akrab saat di TK – selalu pulang bersama – namun kami tidak lagi banyak berbicara memasuki usia SD. Itu dikarenakan aku sudah memiliki teman-teman baru dan kami tidak berada di angkatan yang sama. Aku berpikir, mungkin akan berbeda cerita apabila kami masuk SD ditahun yang sama.
Sebut saja temanku ini Edi, dan kakaknya dengan nama Didi. Mereka adalah tetanggaku meski berbeda RT. Rumah kami tidak terlalu dekat namun juga tidak terlalu jauh. Aku sering sekali melewati rumah mereka ketika ikut ibu beli bensin atau berbelanja. Keluarga mereka bisa dibilang berada di bawah garis kemiskinan. Bapak mereka buruh dan ibu mereka ibu rumah tangga. Mereka tidak memiliki motor, juga kamar mandi di rumahnya. Ya, cerita yang aku ceritakan ini bukanlah cerita yang telah terjadi lama. Ini kisah masa kecilku tahun 2000 – 2003. Baru 18 tahun yang lalu dan terjadi di kota besar seperti kotaku. Di tahun pembangunan setelah reformasi, masih ada masyarakat miskin seperti mereka. Kenapa aku tekankan kemiskinan mereka? Karena lingkungan tempat tinggalku bukan lingkungan yang miskin. Lingkungan kami bisa dibilang kelas menengah dengan profesi para penghuninya macam dokter, guru, dosen, pegawai, dan pengusaha. Hanya beberapa sebagai petani itupun petani kaya karena juga sebagai tuan tanah. Hidup dalam kegemilangan lingkungan seperti ini tentu akan mengejutkan memiliki tetangga berkekurangan. Namun aku bersyukur pernah merasakannya.
Aku dan Edi menghabiskan waktu Bersama di TK. Kami bermain Bersama; naik jungkat-jungkit, main prosotan, ayunan, dan jajan bersama. Masih ingatkah saat aku bercerita mengenai TK ku? TK ku yang miskin begitu juga dengan siswa-siswanya. Aku tidak pernah berpikir aku kaya. Aku hanya diberi uang saku Rp300,00 saja per hari. Aku tidak dibelikan sepeda seperti anak-anak lainnya, toh mungkin karena aku punya dua kaki sehat untuk berjalan. Begitupun aku suka berjalan pulang karena kami bisa mampir ke sawah atau kali untuk menangkap wader atau kecebong. Seragamku lusuh dan tubuhku kotor. Namun aku bahagia pernah mengalaminya. Karena Edi juga miskin, maka kami tidak pernah saling pamer atau menginginkan mainan yang aneh. Tidak seperti sekarang yang mana lingkunganku membuatku ingin beli ini-itu yang tidak perlu. Cukup bisa masuk sekolah dan pulang setiap harinya saja kami sudah bahagia. Sebenarnya aku masih ada cerita mengenai teman-temanku yang lainnya. But I’ll save it for later.
Edi tidak punya motor, sehingga ibunya sering berpergian naik sepeda jengki. Karena anak-anaknya banyak, maka didepan dan belakang sepeda itu diboncenglah anak-anaknya. Sering juga apabila aku dijemput menggunakan motor, Edi ikut dibonceng. Walau Edi hanya dibonceng sampai rumahku dan dia harus berjalan kaki ke utara lagi untuk sampai rumahnya. Aku tidak tahu apakah rumah mereka itu rumah asli atau hanya mengontrak. Aku terkadang bermain ke rumah mereka. Rumahnya hanyalah sepetak kecil ruangan besar yang disekat-sekat menjadi 2 ruang kecil. Aku masih ingat sekali, mereka adalah keluarga besar dengan banyak anak – mungkin 4 atau 5 anak – namun tidur dalam 1 ruangan. Mereka tidur diatas kasur kapuk butut, tanpa banyak perabotan disekelilingnya. Mereka hanya punya 1 TV, itupun kadang dijual kembali saat butuh uang. Mereka tidak memiliki lampu yang memadai, sehingga saat sore menjelang ibu mereka akan menyalakan teplok(lampu dari lilin berbahan bakar minyak tanah) untuk ditaruh sebagai penerang di beberapa sudut rumah. Tidak hanya itu saja, karena tidak memiliki toilet sendiri, mereka numpang ditoilet tetangga. Pernah juga aku melihat ibu mereka mencuci baju di kali (sungai kecil) yang mengalir didepan rumah mereka. Saat itu adalah pemandangan biasa melihat kemiskinan seperti ini karena pemerintah belum terlalu turun tangan seperti sekarang.
Hidup dalam kemiskinan membuat mereka menjadi obrolan tetangga dan guru-guru di sekolah. Anak-anak mereka bukanlah siswa yang cerdas; lagipula lucu sekali apabila sampai berpikir orang miskin dilarang bodoh. Bagaimana bisa keluarga yang hidup kekurangan – makan tidak sehat dan tidur di lingkungan kotor – akan menghasilkan anak-anak yang jenius? Hingga sekarang pikiran tersebut masih menghantuiku. Aku takut aku terlalu miskin untuk membesarkan anak-anakku kelak . Pernah sekali aku mendengar 2 guruku berbincang mengenai kehidupan mereka.
“Kemarin ibu Nana cerita ke saya. Nana (salah satu adik kelasku yang juga adalah teman TK dan SD ku) seharian main terus sampai sore. Ibunya sampai mencari-cari kemana-mana. Tau-taunya Nana ternyata main ke rumah Edi. Kasihan sekali keluarga itu. Nana ditanya kemarin siang makan apa? Kok engga pulang ke rumah buat makan. Nana jawab kalau dia makan nasi dengan garam dan kecap.”
Deg! Aku ingin menangis kalau mengingat percakapan itu. Dahulu aku tidak berpikir kalau makan nasi dengan kecap/garam dan kerupuk adalah dosa. Aku sering juga melakukannya apabila ibu sibuk bekerja hingga tidak memasak. Namun saat mendengar guru-guru membicarakannya, aku menjadi sedih. Jangan-jangan memang sehari-hari mereka hanya makan itu. Nana adalah anak yang baik. Dia setahun dibawahku dan juga adik kelasku dari SD hingga SMP. Kami dulu saat TK sering bermain bersama, bahkan aku sering mengampirinya ke rumahnya didekat TK kami dulu. Pertemuan terakhirku dengannya ialah saat pemilu kepala daerah tahun lalu. Dia masih mengingatku namun aku pangling padanya. Kini rumah kami berdekatan, hanya beda RT saja, namun aku tidak memiliki kontaknya sama sekali, hanya facebooknya saja yang jarang aku buka lagi.
Percakapan dua guru mengenai kemiskinan mereka menyadarkanku bahwa hidup tidaklah mudah. Aku telah sadar akan hal tersebut bahkan ketika usiaku belum 6 tahun. Hingga kini aku selalu was-was akan masa depanku. Akan menjadi seperti apakah orang sepertiku? Aku tidak pintar. Aku tidak berpendidikan tinggi. Aku biasa saja. Aku telah berteman dengan kemiskinan jauh sebelum aku menyadarinya.
Aku tidak terlalu tahu mengenai nasib keluarga Edi dan Didi ini sekarang. Rumah mereka sekarang telah direnovasi menjadi rumah bagus, namun dengan pemilik yang berbeda. Dugaanku ialah mereka telah menjual rumah tersebut dan pindah. Aku terakhir melihat Edi – yang memang tidak pernah aku jumpai lagi selepas aku lulus SD – saat aku kelas 12 SMA. Saat itu aku tengah berangkat les dan ada 2 orang pemuda naik motor yang melabrak Edi. Penampilan mereka seperti preman cilik, begitu pula dengan Edi. Pakaian mereka lusuh dan rambut mereka dicat tak karuan. Kami menyebut orang-orang seperti itu dengan gondes (anak nakal ndeso/kampungan). Entah apa yang mereka pertaruhkan, namun dua anak yang naik motor itu memarahi Edi. Aku lihat Edi menangis sebelum 2 orang itu meninggalkannya. Tidak ada baku hantam yang terjadi, hanya ada kesedihan. Aku tidak berani menyapanya, bahkan aku tidak tahu apakah dia masih mengingatku. Kami telah berpisah cukup lama hingga mungkin tidak saling mengingat lagi. Aku teruskan perjalanananku ke tempat les. Mungkin apabila kami punya cukup keberanian untuk berbicara, kami dapat menghabiskan berjam-jam lamanya untuk mengobrolkan perjalanan hidup kami. Namun aku sadar betul, mungkin ini bukan Edi yang aku kenal dulu.
Komentar
Posting Komentar