Resensi Novel The Women in the Castle karya Jessica Shattuck

Bagi saya yang seorang pecinta karya sastra historian, sayang sekali untuk melewatkan cerita novel satu ini. Novel karya Shattuck, yang ditulis 7 tahun lamanya, bercerita mengenai perjuangan seorang janda pahlawan Jerman dalam mencari dan melindungi para janda pejuang lainnya. Novel ini diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, yang saya kenal sebelumnya banyak menerbitkan komik-komik indah, dan tebal 440 halaman, dengan rating 21+. Awalnya saya ragu kenapa novel tanpa esek-esek ini berating dewasa, namun setelah membaca hingga bagian akhir novel saya sadar bahwa novel ini sangat eksplisit sekali dalam menggambarkan kekejaman NAZI. Berlatar belakang tahun 1938, lalu melompat ke 1950, lalu diakhiri di tahun 1991, ada banyak perkembangan sifat tokoh yang sangat saya sukai. Mari akan saya tuliskan sinopsisnya sebagai gambaran setting.


Tahun 1938. Marianne von Lingenfels adalah seorang wanita 30 tahun yang bersuamikan seorang tokoh berpendidikan dan juga seorang bangsawan pemilik puri bernama Albrecht von Lingenfels. Marianne dan Albrecht telah memiliki 3 orang anak; 2 putri dan 1 putra yang masih kecil-kecil. Diam-diam Marianne menyukai teman masa kecilnya – yang juga rekan sepemikiran Albrecht – bernama Connie Fledermann. Namun kisah persahabatan yang mereka bangun hanya berakhir friendzone saja, meski kita tidak tahu apakah Connie mencintai Marianne sebagai kekasih. Di tahun tersebut, Connie memutuskan untuk menikahi kekasihnya, Benita, yang cantik jelita namun miskin dan tidak berpendidikan. Benita ini digambarkan sebagai gadis muda 20an tahun dan centil. Saat itu Benita telah hamil anak Connie, sehingga kisah Marianne – Connie cukup sampai persahabatan saja. Albrecht dan Connie serta rekan-rekannya yang lain sedang merencanakan pembunuhan Hitler, yang dianggap sebagai monster tak berperikemanusiaan karena telah membunuh dan mengusir warga Yahudi dari Jerman. Dalam suatu pertemuan malam-malam di kastil Burg Lingenfels – puri kuno nan besar milik Albrecht – Marianne menyatakan ingin bergabung dalam rencana tersebut, namun ditentang oleh para pria yang ada disana. Connie pun dengan bijak meminta Marianne untuk berkontribusi dengan cara melindungi para istri pejuang – berjaga-jaga apabila rencana pembunuhan ini tidak berhasil dan menyeret mereka untuk digantung. Marianne yang sadar akan posisinya memilih mengalah dan menyetujuinya.
Tahun 1945.  Singkat cerita, para pemberontak NAZI ini gagal membunuh Hitler. Semua pejuang – termasuk Albrecht dan Connie – dihukum mati. Situasi perang dunia yang meluluh-lantakkan Jerman, membuat para janda rekan seperjuangan Albrecht terpisah-pisah. Setelah Jerman dinyatakan kalah perang dan Hitler bunuh diri, Marianne pun memulai pencariannya mencari para janda dan anak-anaknya. Pencarian pertama Marianne adalah janda Connie, Benita dan putra semata wayangnya Martin Fledermann. Martin ditemukan di sebuah panti asuhan dan ibunya di sebuah penampungan pengungsi. Benita yang mengira Martin telah mati begitu sangat bahagia dapat berjumpa lagi dengan putranya. Martin amat sangat mirip dengan Connie, yang membuat Marianne teringat teman masa kecilnya apabila memandangi Martin. Janda kedua yang ditemukan Marianne adalah Frau Ania Grabarek dengan kedua putranya, Anselm dan Wolfgang. Ketiga wanita ini Bersama dengan anak-anaknya lalu mendiami Puri Burg Lingenfels dan memulai cerita masing-masing.
Ada banyak sekali detail cerita pribadi para tokoh. Mulai dari pertemuan pertama Benita dan Connie, masa kecil Marianne dan Connie, kejadian-kejadian saat perang memuncak, bagaimana mereka masing-masing melarikan diri dari kejaran tantara NAZI, hingga nasib suami dan keluarga yang mereka tinggalkan. Mungkin tidak akan cukup blog ini menuliskan detailnya, jadi akan saya ambil yang paling signifikan saja.
Kehilangan seorang suami adalah hal paling menyedihkan bagi wanita cantik seperti Benita. Dirinya masih begitu muda saat itu, dan tanpa bermaksud kemayu maupun menggoda, dia jatuh cinta pada mantan tentara NAZI bernama Franz Muller. Muller adalah tantara yang ditugaskan untuk bekerja membantu di Puri. Dia pekerja keras dan baik hati, serta jujur. Namun Marianne, selaku nyonya rumah, tidak menyukai Muller karena Muller adalah NAZI, dan NAZI adalah musuhnya. Sehingga sebaik apapun yang Muller lakukan, tidak pernah diapresiasi Marianne. Benita yang jatuh cinta dengan sifat Muller, diam-diam sering menemuinya. Marianne yang pada akhirnya tahu hubungan tersebut, mengusir Muller dan memarahi Benita, menyebut Benita lancang dan tidak sopan karena seharusnya janda pejuang tidak boleh jatuh cinta dengan musuh almarhum suaminya. Benita merana akan hal tersebut, sehingga pada tahun 1950 – saat Martin anaknya masuk sekolah asrama – dia memilih untuk kembali ke kampung halamannya agar dapat menjauh dari Marianne yang mengekangnya. Marianne merasa bersalah akan hal tersebut; memangnya dia siapa melarang Benita jatuh cinta lagi? Apalagi membuat Benita stress dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Ya, si cantik Benita Fledermann pada akhirnya bunuh diri karena depresi.
Namun kisah bunuh diri Benita bukanlah hal akhir yang paling mencengangkan, karena ternyata rekan jandanya Ania Grebarek bukanlah salah satu anggota pejuang! Ya, Ania telah mencuri identitas seseorang bernama Grebarek agar dirinya ditolong oleh Marianne. Ania sebenarnya ialah pengikut NAZI, bahkan dia dan suaminya memegang jabatan NAZI sebagai pemimpin kamp. Ania bernama asli Ania Fortzmann, anak keluarga berada yang ayahnya seorang dokter. Namun Ania memiliki jiwa pemberontak yang akhirnya kawin lari dengan teman sekolahnya Rainer Brandt. Mereka berdua memulai hidup baru sebagai pemimpin kamp yang berisi anak-anak muda Jerman pilihan, ras arya yang sangat dibanggakan dan satu-satunya ras yang berhak memimpin Jerman, begitulah perkataan Hitler. Awalnya pekerjaan di kamp sangat menyenangkan, dan Ania menyukainya. Kamp itu seperti sebuah keluarga dengan anak-anaknya yang diajari banyak hal; berkebun, olahraga, dan militer. Namun seiring dengan kekuasaan Hitler, Ania mulai menyadari kepalsuan yang ada. Kamp tempatnya bernaung, dengan rumah dan kebun luasnya, ialah milik Yahudi yang telah diusir paksa oleh tantara NAZI. Ania semakin terkejut mendengar berita-berita yang menyebutkan para tantara menggiring anak-anak dan wanita ke hutan untuk ditembak mati. Terlebih para ibu telah dipisahkan dari bayi mereka. Mereka dibawa ke kamp konsentrasi untuk dicekok gas. Kengerian ini membuat Ania mual. Secara tidak langsung, dia pulalah yang telah membuat genosida ini terjadi. Sehingga, tanpa segan Ania melarikan diri dengan mencuri nama Grebarek dan mengubur dalam-dalam masa lalunya. Marianne tentu syok dengan kebenaran ini, secara dia seharusnya melindungi para janda pejuang bukan sebaliknya. Namun sejak Benita bunuh diri, Marianne tidak gegabah bertindak. Dia bisa memaafkan Ania dan menerimanya karena sifat, tanpa mengingat-ingat kembali kelakuannya sebagai NAZI.
Tahun 1991. Cerita ditutup dengan Marianne dan Ania yang telah tua. Martin Fledermann telah paruh baya dan seorang dosen. Puri Lingenfels kini telah diubah menjadi Instutut Pengkajian Moral dan Etika Falkenberg. Marianne menyumbangkan semuanya untuk Pendidikan agar generasi selanjutnya mengingat perjuangan suami dan rekan-rekannya. Dia pun lalu menulis biografi mengenai kehidupannya. Kini, Marianne dan Ania mampu berdamai dengan kehidupan.
Bagaimana dengan cerita diatas? Apakah cukup menarik untuk dicoba baca? Saya pribadi sangat merekomendasikan novel ini. Mungkin memang tidak banyak klimaks dan drama karena novel ini fokus pada penggambaran masa perang. Membaca novel ini membuat saya terbayang akan masa 70 – 80 tahun lalu, dimana manusia dengan egonya menindas manusia lain. Dan bahwa kita sebagai generasi yang cukup beruntung untuk tidak mengalaminya, dapat menyimpulkan bahwa perang hanya membawa kesengsaraan. Mungkin di beberapa halaman awal pembaca akan bosan dengan pengenalan para tokoh yang terkesan bertele, namun setelah setting berubah ke pascaperang alur cerita pun berubah seru dan mengharukan. Bintang 4 dari 5 untuk karya Shattuck ini!

Komentar