Review Novel The Handmaid’s Tale Karya Margaret Atwood

 Kisah Sang Handmaid di negara Puritan

Salah satu series dystopia favoritku adalah kisah ini, The Handmaid’s Tale. Series ini berdasarkan sebuah novel dengan judul yang sama karya penulis Kanada bernama Margaret Atwood. Cerita setebal 443 halaman ini telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh penerbit Gramedia. Beruntung aku mendapatkannya dari acara Online Book Fair yang rutin diadakan penerbit ini sebulan sekali (selama lockdown COVID-19). Seriesnya luar biasa bagus, masih ongoing, dan telah memasuki Season ke 4 nya. Jujur, kalau diminta menilai, aku lebih memilih seriesnya ketimbang buku aslinya. Kenapa? Meski sama-sama bagus dan luar biasa, namun alur cerita dalam series lebih tertata ketimbang yang ada di novel, yang penuh dengan kilas balik dan sedikit informasi mengenai dunia diluar lingkungan si handmaid pencerita utama. Salah satu hal yang patut diacungi jempol di dalam novel ialah penggambaran yang mendetail mengenai dunia handmaid dan apa yang dirasakan oleh mereka.



Novel ini ditulis dengan gaya orang pertama oleh seorang handmaid bernama Offred. Nama Offred bukanlah nama sebenarnya, namun kepanjangan dari Of-Fred atau “Milik Fred”, nama yang lazim disandang oleh handmaid sesuai dengan nama majikannya dan yang nantinya akan berubah apabila ganti majikan. Tidak disebutkan tahun berapa cerita ini berlangsung, namun digambarkan apabila dunia saat itu sedang mandul. Bencana alam dimana-mana, peperangan terjadi, dan para wanita tidak bisa hamil. Hanya beberapa wanita saja yang subur, yang ditangkap paksa lalu dilatih untuk menjadi ibu yang bertugas mengandung anak dari para keluarga petinggi. Negara tersebut bernama Gilead, negara pecahan Amerika Serikat yang dikuasai oleh kaum ekstrimis puritan. Kaum ini meniadakan hukum-hukum modern dan menggantinya dengan hukum agama. Sehingga hukuman semacam potong tangan dan gantung adalah hal biasa dan boleh ditonton oleh semua kalangan. Bahkan mereka yang tidak berkeyakinan sama dengan keyakinan negara tersebut dipersilakan untuk keluar dari sana.

Offred ini memiliki gejolak di hati. Dirinya dulu adalah wanita karir dan telah berkeluarga serta memiliki anak tunggal. Namun suaminya terpisah darinya saat sedang melarikan diri, dan anaknya dipisahkan darinya untuk diberikan pada keluarga Komandan, istilah yang digunakan untuk menyebut pejabat di negara Gilead. Kaum wanita tidak boleh membaca dan menulis, tugasnya kembali lagi ke dapur dan mengurus anak-anak. Offred memiliki keinginan untuk pergi dari situ, namun kungkungan negara mengharuskan rakyat-rakyatnya untuk patuh dan diam. Meski begitu, bagian akhir novel menceritakan Offred yang menjalin affair dengan sopir majikannya yang bernama Nick. Akhir cerita di novel sangatlah menggantung. Namun apabila menonton seriesnya, ada banyak sekali rincian-rincian yang tidak disebutkan di novel. Serta, cerita di series sudah jauh melampaui novel.

Aku merekomendasikan bagi pembaca yang menyukai cerita dystopia ataupun feminisme untuk membaca novel ini. Setelah membacanya, kengerian akan dunia puritan menggelayuti pikiranku. Selain itu, meski para pemimpin berniat “baik” dengan mengembalikan dunia ke keadaan “murni”nya, namun ada banyak orang yang tidak setuju dan diam-diam masih menjalani gaya hidup keduniawian. Anggap saja novel ini adalah gambaran masa depan yang “mungkin” terjadi karena kerusakan lingkungan dan kekurangan pangan telah merajalela, agar kita senantiasa berpikir jernih menemukan solusi, bukan menambah larangan yang “tidak masuk akal”.



Komentar