*Kisah ini aku tuliskan dari cerita si XxX yang enggan disebutkan namanya.
Setiap bulan puasa, takjil di masjid adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh anak-anak SD. Rebutan toa masjid untuk memanggil teman-teman sekitar menjadi ajang kompetisi antaranak yang ingin suaranya berkumandang di angkasa. Namun bukan serba-serbi indahnya takjilan yang akan aku ceritakan. Aku ingin menceritakan kisah yang menurutku “memalukan”.
Pembuatan takjil diwajibkan secara bergilir ke seluruh penduduk sekitar masjid yang dianggap ‘mampu’ secara ekonomi untuk menyiapkan menu buka puasa sebanyak 100 kardus. Awalnya tidak ada ketentuan apa saja yang perlu disajikan untuk takjil, namun terjadi kasus beberapa orang ‘pelit’ hanya memberikan roti sobek dan aqua sebagai buka puasa yang menyebabkan takmir masjid bertindak. Buka puasa haruslah nasi, lauk, dan sayur. Ya, aku masih ingat sekali tulisan tersebut dibold dalam surat undangan penyediaan takjil yang ibu terima. Sebagai masyarakat pas-pasan, tentu ketentuan ini menjadi rasan-rasan di kalangan ibu-ibu. Ya kalik menyediakan takjil harus dipersyaratkan, begitu pikir para menteri keuangan rumah tangga.
Dari sudut pandang kami anak-anak, kami sangat bahagia apabila menu takjil WOW punya. Bahkan kami dengan memalukannya akan memilih menu takjil yang paling enak dari dua menu yang biasa tersedia (100 porsi takjil biasanya dibebankan pada 2 orang pendonor). Terkadang aku mendapat sate, di lain hari aku mendapat ayam panggang, kalau lagi apes ya dapat telur goreng saja. Takjil itu berasa seperti gengsi diantara kami warga pinggiran kota. Setiap pulang ke rumah pasti yang ditanyakan ibu adalah, “Tadi takjilnya pakai apa?” dan memuji si pendonor yang mampu menyajikan ayam panggang bermerk terkenal.
Suatu waktu, ibu diharapkan menyajikan menu takjil ke masjid sesuai ketentuan. Orang tua kami memang pegawai tapi bukan bos, plus saudaraku banyak sehingga pengeluaran selalu pas dengan gaji. Alhasil ibu memutar otak agar sajian takjil memenuhi syarat namun juga tidak malu-maluin. Saat itu keuangan kami sedang limit, dan ibu akhirnya membuat nasi telur kecap dengan sayur buncis sebagai pelengkapnya. Tidak ada ayam, tidak ada kerupuk, hanya ada semangka kecil tersaji di dalam kardus. Tidak memalukan memang, namun kalau kalian lihat lebih jeli, porsi tersebut disusun amat sangat limit juga. Telurnya hanya kecil macam telur ayam kampung, nasinya hanya sebatas kotakan mika kardus, dan buncisnya hanya 2 sendok makan. Ya ampun betapa malunya aku melihat bekal ini. Apa kata temanku nanti?
Sorenya aku enggan ikut takjil. Namun aku kuatkan saja iman ini dan datang. Teman-temanku telah ribut melihat papan nama; pada jatah keluarga mana takjil datang. Dan tercantum nama keluargaku disana. Namun aku hanya diam tidak ikut ribut dan pula-pula tidak mendengar percakapan mereka. Partner takjil keluargaku adalah keluarga pengusaha dan dosen universitas; nama mereka cukup mentereng dengan 3 anaknya yang lulusan UGM semua. Keluarga tersebut juga telah haji dan kadang kepala keluarganya menjadi penceramah saat tarawih. Duh makin nyiut nyaliku.
Jam 5 sore makanan sudah ditata rapi di pelataran masjid. Namun aku bingung kok makanannya berkardus Catering XxX semua ya? Mana kardus makananku? Aku celingak-celinguk mencari. Ternyata tumpukan kardus keluargaku ada di bagian belakang dan tidak disajikan! Nampaknya panitia telah memilih makanan yang “pantas” untuk dihidangkan ke masyarakat yang datang. Rasa marah bercampur malu membanjiri dadaku. Sebegitukah sumbangan takjil diperlakukan? Namun aku hanya diam saja.
Karena jamaah yang datang banyak, maka takjilku mulai dipertimbangkan. Takjilku dihidangkan ke Bapak Imam yang biasa mengimami solat maghrib kami. Aku deg-degan kalau-kalau Pak Ustad tidak mau menerima takjil tersebut. Namun beliau hanya duduk dan tidak memperhatikan isi takjil. Malahan Anak seumuran aku disamping beliaulah yang dengan terang-terangan membuka tutup takjilnya, melihat isinya, dan menukarkannya ke takjil yang berkardus katering terkenal. Astaga aku ingin marah padanya. Ingin kulemparkan takjilku ke arahnya.
Aku yang bersedih pun dengan sengaja duduk di atas tikar yang menyajikan takjilku. Aku diam seribu bahasa hingga adzan maghrib berkumandang. Aku buka bekalku dan menahan tangis. Memang sedikit sekali makanan yang ada disana. Aku lihat didepanku Pak Ustad sampai makan 2 kardus saking sedikitnya. Aku hanya menahan air mata sambil sesegukan menelan kunyahan yang tidak terasa. Hatiku terhina meski tidak ada yang menghina. Anak-anak berlarian kesana-kemari seperti tidak terjadi apa-apa. Mulai saat itu aku putuskan tidak ikut bertakjil lagi di masjid sana.
Komentar
Posting Komentar