Adakah yang penasaran dengan dua patah kata ini? Kalau penasaran silakan lanjut membaca tulisanku ini. Kalau tidak, diharapkan untuk menjadi penasaran ya ^_^. He…he… just joke, friends ;-)
Childish Giraswara adalah nama kucingku. Gimana lucu gak? Kenapa aku namain Childish Giraswara? Yah karena bebebku yang satu ini adalah kucing yang menggemaskan tapi juga kekanak-kanakan dan ngeyel. Bahasa inggrisnya kekanak-kanakan kan “childish”, sedangkan bahasa jawanya ngeyel kan “giras” jadi aku gabungin dah dua nama itu. Sedangkan tambahan “wara” dibelakangnya itu berarti “indah sekali” karena bahasa jawanya indah sekali itu ya “wara” tadi. Gimana? Tahu maksudku kan menamainya dengan “Childish Giraswara”? Kalau tidak paham ya sudah… silakan temui aku langsung aja :-D
Childish ini begitu terkenal lho dikalangan teman-teman sepermainanku. Kalau tidak percaya tanyakan pada sahabat-sahabat SMA ku dulu. Karena tiap aku cerita ini itu, pasti aku nyeplos nyebutkan kata “Childish”. Teman-temanku jadi penasaran terus tanya Childish itu siapa, dan jadilah Childish menjadi topik pembicaraan. Ha…ha… meskipun begitu Childish tidak marah kok dirasani. Yaiyaah dianya aja gak tahu:-D
Terus Childish itu seperti apa sih? Apa istimewanya? Itu kan Cuma kucing biasa. Palingan juga suka nyakar. Oke oke aku sudah biasa bila diperolok dengan pertanyaan tersebut. Sudah kebal. Tapi bagi kalian sahabat kucing, pasti tahu bagaimana istimewanya mereka kan? :-D Maaf maaf bila tulisan ini lebih diperuntukkan bagi sahabat kucing ya…
Kita sekarang bicara tentang seperti apa Childish. Childish terlahir di luar rumahku. Aku tidak tahu dimana dia lahir, but I just know his mom. Ibunya adalah kucing yang aku temukan sekitar tahun 2009. Nama ibunya Blacky. Nama lengkapnya? Jangan ketawa ya, Asyifa Blackyta Dandeliona. Ha..ha.. emang aku dari dulu dah gila ya kalau namain kucing itu :-D. Kisah pilu mewarnai perjalanan awal hidup Childish. Bulan November 2013 Childish hampir mati tenggelam. Dia juga kehilangan saudaranya yang tidak sempat diselamatkan ibunya.
Aku sedih sekali bila harus menceritakan kisah pilu ini. Tapi aku harus tegar agar aku dapat membagi kisah ini pada kalian semua. Bahwa life must go on. Apapun itu yang terjadi :’-)
====================================================
What Greater Gift than the Love of a Cat
Dua tahun ini aku seperti terlahir kembali. Orang-orang yang merasakan hal yang sama berkata mereka menemukan hal baru yang memperbarui hidup mereka. Aku mengangguk setuju karena aku juga mengalaminya. Hidupku kini baru di awal dekade kedua. Menurut usia rata-rata manusia, tentu perjalananku masih panjang. Namun aku sudah merasakan hidup itu berat. Jika bukan karena aku memiliki seekor Childish yang luar biasa ini, mungkin aku tak akan pernah memiliki semangat. Aku bertemu denganya tanpa sengaja, tanpa aku pikirkan dan aku minta. Namun sepertinya, takdir Tuhanlah yang mempersatukan kami.
Cerita bermula dari kisah pilu hidup awal Childish. Suatu petang gerimis bulan November 2013, tiba-tiba aku terjaga dalam kamarku. Telingaku selalu sensitif bila dihadapkan pada meongan. Tidak biasanya aku mendengar meongan kucing meraung-raung membelah udara dingin yang berembus. Meongan yang akan selalu kuingat, meongan minta tolong. Aku bertanya-tanya, meongan siapa gerangan kah itu? Tanpa basa basi aku langkahkan kakiku keluar rumah. Dan kulihat Blacky, kucing betina yang aku adopsi lima tahun lalu, mondar-mandir penuh kekhawatiran di pinggir got depan rumah.
Astaga Blacky, kamu kemana saja selama ini? Sudah berbulan-bulan Blacky tidak pulang. Kata ibuku mungkin Blacky sudah mati. Betapa bahagianya aku melihat Blacky kembali. “Blackyyyy” begitu aku memanggilnya. Blacky mengenal suaraku. Dia berhenti mengeong dan menatapku. Kudekati dia dan kusadari dia menangis, bukan raungan tangisan seperti manusia tapi tapi lebih ke Blacky seperti menangis. Akupun sadar bahwa ada bencana besar melandanya.
Tanpa waktu lama aku tahu kebenarannya. Lewat meongan lirih dari dalam got aku sadar ada anak kucing terjebak banjir. Bukan hal mustahil banjir setinggi lutut menghampiri got kusam itu, bila menilik hujan musim ini yang deras turun. Tidak mungkin, anak Blacky terjebak banjir! Aku terkesiap tak mampu berpikir. Yang ada di kepalaku hanyalah seorang ibu akan kehilangan anaknya di depan mata kepalanya sendiri. Tidak boleh! Aku harus lakukan sesuatu.
Langsung aku menceburkan diri dalam got bau penuh sampah dengan air hitam yang langsung membanjiri pakaianku. Untung aku bawa HP yang langsung aku hidupkan senternya. Bau got yang menyengat tidak mengurungkan niatku dalam menggapai si kucing kecil terendam banjir. Lima meter didepanku, ya itu dia, si kucing mengeong minta tolong. Dari senter redupku aku lihat kucing bayi dominan putih, mungkin baru tiga bulan, mengeong dan melihatku. Tubuhnya basah kuyup karena banjir memenuhi dirinya. Untung dia tidak tenggelam, pendangkalan sungai menyelamatkannya. Segera aku coba meraih dirinya, namun oh, dia lari! Genggamanku terlepas dari tubuh mungilnya. Ya Tuhan dia lari jauh, lari menuju genangan banjir!
Ya Tuhan apa yang harus kulakukan? Dia hilang dari pandanganku. Atap got ini tertutup semen plesteran sepnjang 15 meter. Dia kucing yang sedang ketakutan, dan bila aku di posisinya aku pun akan berlari bila ada benda gelap asing besar bercahaya mendekatiku. Bila kukejar kucing itu, aku sadar dia akan terus berlari sampai banjir menghanyutkannya. Dan sedetik setelah kucing itu lari, tidak kudengar lagi meongannya.
Aku diam tak bergerak, aku sadar usahaku gagal. Kucing kecilku, baru sedetik aku menyentuhmu dan kini kau hilang selamanya dari pandanganku. Meongan Blacky diatas semakin keras. Aku putuskan, untuk pertama kali dalam hidupku, untuk menyampaikan kabar duka pada mother-cat ku.
Begitu aku keluar dari got, aku disambut Blacky yang mengelus tubuhku. Meongannya berhenti. Dia tahu apa yang terjadi. Aku menatapnya, “Blacky oh Blacky, maafkan aku…”. Air mataku tumpah, aku menangis keras di pinggir got. Orang-orang yang lewat dan tetanggaku menontonku tanpa berkedip, seolah-olah aku ini sirkus gratisan. What the hell, aku benci mereka. Aku benci mereka yang tak peduli kemanusiaan. aku benci mereka yang bahkan tak menolongku membantu seorang ibu yang anaknya sedang tenggelam dalam got kotor buangan limbah mereka. Aku benar-benar benci mereka!
Amarahku meledak dalam tangisan. Ibuku datang, “Bri, ngapain kamu nangis? Masuk sana!”. Aku tambah marah. “Anak Blacky kebanjiran di dalam got, Mi.” ungkapku. “Terus kenapa? Kamu masih punya banyak kucing di rumah. Nanti simboknya juga punya anak lagi.” Bah! Aku benci ungkapan itu. Tidak mengertikah kalian, ibuku juga, bahwa ada ibu malang yang anaknya mati tenggelam? Aku marah dan kubawa Blacky masuk rumah.
Aku menenangkan Blacky dengan memberinya makan. Atau mungkin Blacky yang menenangkanku dengan ketenangannya. Blacky makan tanpa rewel, aku tahu dialah ibu kucing terbaikku, selalu tabah sejak kecil. Blacky, dia sahabatku. Aku menemukannya dibuang di samping rumahku. Saat itu dia masih kecil, mungkin baru empat bulan. Aku mengambilnya dan menjadikannya piaraanku, sebagai teman untuk kucingku yang bernama Shidiq. Aku dan kakak-kakakku terpesona pada penampilannya. Kucing calico yang menawan. Dengan tubuh mungil dan ekor panjangnya yang menggeliat-geliat meskipun dia sedang tidur. Dengan kasihnya yang tidak pernah melupakanku meskipun dia sudah bisa hidup sendiri.
Blacky kecil sangat tabah. Meskipun ibu selalu memarahinya karena dia suka mencuri, tapi dia tak pernah dendam. Dia akan tetap mengelus kaki ibuku saat ibu sedang makan. Ya, dialah Blacky, ibu dari kucing-kucing menawanku, termasuk si Childish ini.
Beberapa hari kemudian (aku tidak ingat berapa hari tepatnya), pada malam hari sehabis isya, ibu memberitahuku. “Bri, kata bapakmu si kucing hitammu itu bawa pulang anaknya. Ditaruh di tumpukan buku-buku di teras. Warnanya merah. Coba kamu lihat,” tanpa basa basi aku berlari ke teras. Benarkah Blacky membawa pulang anaknya yang tenggelam? Bagaimana bisa?
Sekilas tumpukan buku-buku tak beraturan itu tertumpuk seperti biasa. Aku aduk-aduk kumpulan buku setinggi setengah meter itu. Bertanya-tanya apa bisa anak kucing dimasukkan ke dalamnya? Dan tiba-tiba “Agggghhh!” aku terkejut bukan main. Sesosok kucing bewarna coklat atau yang biasa disebut ginger cat ini membuatku terpana. Warnanya mengingatkanku pada Dewey, namun ekspresi ketakutan bercampur keterjutannya membuatku terpana. Bagaimana tidak, dengan tubuh kurusnya, – hingga mampu masuk ke sela-sela tumpukan buku – dia menatap benci padaku. Dia begitu ketakutan melihat manusia untuk pertama kalinya. Aku mencoba menenangkannya seperti yang biasa aku lakukan pada kucing lainnya. Namun dia mengelak dan mencakar. Mulutnya terbuka dan terus mengeluarkan suara “Agggghhh, agggghhh!” tanda terancam.
Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Aku begitu bahagia dapat bertemu dengan saudara kucingku yang tenggelam waktu itu. Sangat menawan sekali kucing ini. Tubuhnya mungil namun bulunya panjang, lebih panjang dari bulu Blacky. Aku sadar, kalau kucingku yang satu ini bukan murni kucing kampung seperti induknya, tapi kucing blasteran. Mungkin blasteran dengan kucing tetanggaku yang bewarna ginger seperti dia, yang dulu suka main ke rumahku hingga membuat kucing-kucingku ketakutan. Terdorong rasa penasaranku, kujulurkan tanganku untuk meraihnya. Dan responnya sungguh tak terduga, dia lari ketakutan.
Kucing kecil itu lari ketakutan. Dia lari ke kebun belakang yang gelap. Dan aku disergap ketakutan. Tidak ada lampu penerang di halaman belakang itu, yang berarti aku tak mampu mencari kucing kecilku tanpa ada penenerang. Sebelum dia hilang dari jangkauan, kuambil HP ku untuk menyinari langkahku. Dengan langkah terantuk-antuk batu, aku teriakkan “Puss, puss!” berulang-ulang. Tak peduli tetangga sekitar akan kebisinginan.
Dan hasilnya? Aku bahkan tak mampu menemukan jejaknya. Langit malam mengaburkan pandanganku, ditambah dengan air mata yang menggenangi hatiku. Aku menahan tangis, akankah aku kehilangan anak Blacky untuk kedua kalinya? Sama seperti yang dulu, aku hanya mampu menyentuhnya sekali lalu ia hilang dari pandangan. Hilang dari genggaman tanganku.
Sekali lagi aku masuk rumah dengan tertunduk. Isakan tangis membuat ibuku iba, “Kenapa to Bri kamu nangis terus gara-gara kucing? Nanti kan kucingnya pasti kembali, pasti pulang nyari simboknya.” demikian hiburan dari ibuku tercinta. Ya, who knows kan bila kucingnya kembali? Kenapa aku harus menangisinya? Entahlah, aku tak tahu.
Dan benar saja, tidak sampai setengah jam kemudian si Blacky pulang. Pulang mencari anaknya. Aku berlari menyongsongnya. Apakah bila Blacky pulang, maka anaknya pulang juga? Wow, aku bersujud bahagia, si kecil si manis itu mendempel manja pada ibunya. Benar-benar keajaiban itu ada. Ya Allah, syukurku aku panjatkan karena aku bisa bertemu lagi dengannya.
Aku membelai lembut anak Blacky, namun sepertinya dia tidak menyukaiku. Dia menghindar dan kembali mengeluarkan suara “Aaaarrrgggh!” nya yang mengancam. Aku tersenyum, tidak masalah bagiku bila dia membenciku. Aku akan tetap menyayanginya, menyayanginya dengan sepenuh hati untuk menebus dosaku karena tak mampu menyelamatkan sauadaranya yang mati tenggelam.
Malam itu Blacky tidur dengan anaknya di tumpukan buku teras. Aku didalam kamar terus berpikir, berapa anak Blacky yang selamat? Atau lebih tepatnya bertanya-tanya berapa anak Blacky yang masih hidup. Aku berharap menemukan keajaiban lagi akan kehidupan anak Blacky. Semoga masih ada anaknya yang lain yang selamat dibawah guyuran hujan tahun ini.
Pagi harinya aku pamit ke Blacky dan anaknya yang manis, yang masih menatapku takut. Blacky menyentuh tanganku saat aku mengulurkannya, “Blacky, makasih ya kamu masih mengingatku dan mengizinkanku bertemu dengan anakmu ini.” ucapku haru. Aku lalu menamai anak ini dengan “Childish Giraswara”; Childish yang berarti kekanakan (bagaimana dia berperilaku kekanakan bila bertemu orang) dan Giraswara yang berarti galak namun indah sekali. Aku mulai memanggilnya Childish. “Childish, Childish!” aku meneriakkan namanya sepanjang hari.
Namun sekali lagi, terjadi bencana. Kenapa bencana selalu menghadang hidupku yang sudah berliku-liku ini?. Ya, bencananya adalah anak Blacky hilang lagi. Siang itu aku pulang sekolah. Seperti biasa aku mencari Childish di tumpukan buku. Si Blacky tidak ada di sana, jadi kukira si Childish sedang tidur. Tapi kekhawatiranku melanda saat kutahu aku tak bisa menemukan Childish disana. Aku bertanya pada Ibu. Dan jawabannya membuatku kembali gila, “Tadi kucingmu lari ke luar pagar, terus dikejar Bapakmu, tapi tidak tertangkap.”. Ya ampun Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Tidakkah Engkau merestui aku dan Childish? Kenapa Engkau memisahkan kami lagi? Saat itu aku hanya bisa menyalahkan Allah.
Berhari-hari aku mencoba tetap hidup; tetap sekolah, tetap makan, dan tetap tertawa. Hatiku sakit sekali dengan kepergian Childish. Blacky memang pulang sesekali, namun tidak dengan anaknya. Aku memaksa Blacky untuk mengembalikan anaknya padaku, menegmbalikannya ke rumah ini. Aku masih menyalahkan Tuhan, namun aku juga memohon pada-Nya agar mengabulkanku bertemu dengan Childish.
Aku pulang sekolah naik bus menjelang sore. Langit mendung dan aku reyot berjalan. Aku lemas dan capek. Aku buka gerbang pagar dan… dan mendapati Childish disana. Ya! Childish is back. Childish kembali! Childish ada di taman depan rumah, ketakutan dan semua bulunya tegak berdiri. Ternyata ada Calico (kucingku yang lain, anak Blacky sebelum Childish) didekatnya, mungkin penasaran siapa gerangankah makhluk cilik ini? Aku terpana sebentar lalu lari masuk rumah. “Blacky, Blacky, puss puss!” aku mencari Blacky, aku tak mau mendekati Childish tanpa Blacky. Childish belum mengenalku dan aku tak mau ambil resiko dia lari lagi. Untungnya, Dewi fortuna dipihakku, Blacky ada di dalam. Aku langsung menggendongnya menuju Childish. Childish yang masih ketakutam karena diendus-endus Calico melihat kami. Langsung kuturunkan Blacky didekatnya, dan berhasil! Childish langsung mendekat manja pada Blacky, berharap Blacky akan melindunginya dari dua monster asing dihadapannya. Aku tertawa, Allah Maha Mendengar.
Butuh waktu satu bulan untuk Childish beradaptasi. Awalnya Childish hanya bersembunyi dibawah meja selama seminggu lamanya. Dia hanya mau keluar bila aku beri makan atau Blacky datang menjenguknya. Childish, sama seperti kucing kecil lainnya, sangat memuja Blacky induknya. Bila Blacky pulang, Childish selalu mendempel padanya, tak mau lepas. Aku berusaha untuk membaur dengan mereka, namun Chidish tetap menjaga jarak denganku. Perlahan namun pasti, aku mendekatinya, mencoba meraih simpatinya.
Seperti kucing-kucing yang lain, Childish disapih Blacky dan ditinggal pergi padaku untuk beradaptasi. Untungnya, Sunny dan Calico –anak-anak Blacky sebelumnya– juga menyanyanginya. Mereka merawat Childish dan mengajaknya bermain. Sering aku melihat mereka bergumul ditumpukan pasir, tidur diatas tasku, dan makan bersama walau tetap berebutan. Aku dan kakak-kakakku serta ibuku mulai akrab dengannya. Kehadiran Childish benar-benar mengubah hidup keluargaku. Childish tidak lagi giras seperti dulu, melainkan dia selalu manja dan manut pada kami.
Chilling out with Childish (miss that moment)
Mulai dari hari itu hingga sekarang, Childish selalu ada di dekatku. Terkadang aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan kami bila dia tak pernah dibawa Blacky pulang? Akankah aku bermuram durja karena penyesalanku kehilangan si kecil yang tenggelam? Entahlah, yang aku tahu kini selalu ada Childish disampingku. Mungkin ungkapan Charles Dinckness yang terkenal “What greater gift than the love of a cat” menjelaskan situasiku ini. Karena cinta Childish adalah hadiah terbaikku.
Kini Childish kemana? Aku akan melanjutkan ceritaku ini. Childish tetap didekat kami sepanjang tahun. Bulu-bulunya mengembang girang bak handuk. Ibu sering memuji childish dengan sebutan “kucing handuk”. Namun seperti kucing-kucing lainnya, begitu disapih oleh Blacky dan Blacky punya anak lagi, Childish jadi jarang dirumah. Dia terkadang tidak pernah pulang dan aku serta ibuku mencari-carinya. Terkadang kami menemukannya dibelakang rumah, terkadang juga nasib sial yang berjumpa. Hingga pada akhirnya aku ikhlas melepaskan Childish. Childish nampak tidak mau disentuh lagi. Dirinya hanya tiduran di tumpukan batu bata belakang rumah. Dia tidak mau masuk ke dalam dan berteduh. Makannya pun kurang dan tubuhnya mengurus. Hingga pada akhirnya kesempatanku berjumpa Childish sirna. Dia tidak bisa ditemukan dimanapun, bahkan di rimbunan rumput akar belukar yang menganopi tempat favoritnya. Childishku hilang, atau lebih tepatnya Childishku memutuskan pergi.
Spot favorit Childish dalam kerimbunan
Aku bukan tipe orang yang mengekang. Aku tidak suka dikekang, aku tidak suka dipenjara, dan aku tidak suka diatur-atur. Untuk itu aku tidak mengekang Childish. Dia kucing dewasa cantik yang tahu jalan hidupnya, meski itu berarti tidak akan kembali. Aku hanya berdoa dalam keheningan malam, “Ya Allah Tuhanku yang Maha Pemurah, pertemukanlah aku dengan Childish suatu saat nanti. Entah di saat ini maupun alam esok. Aamiin.”
Aku ikhlaskan Childish pergi |
Komentar
Posting Komentar