“Meong, meoong, meooong!” begitu lolongan Play biasa terdengar di pagi hari. Perut keroncongannya tidak akan bisa membungkam mulutnya yang ingin mengunyah makanan kering. Bahkan alarm yang aku setel jam 5.30 pagi kalah dengan teriakannya.
“Okay, Play mau makan?”
“Meoong.”
“Coba tunjukin mana toples Play. Nanti aku bukain.” bujukku meraih tubuh panjangnya.
Play menatapku sambil mengeluskan kepalanya ke tanganku. “Meong,” dia belum beranjak juga dari ranjang. Aku bangunkan tubuhku dan begitu kakiku menginjak lantai, Play buru-buru ikut bangun dan lari menerobos langkahku. Begitu terus Play membawaku menuju toplesnya disimpan. Sesekali dia berhenti menatap ke belakang, seolah-olah aku berubah pikiran dan menghilang kembali ke kamar.
“Meong.” kami sampai di tujuan.
Aku angkat toples bekas roti kering itu lalu mengguncangkan isinya keluar. Butir-butir makanan kucing kering menutupi mangkok biru Play. Bersamaan dengan bunyi makanan dituang, adik-adiknya ikut terbangun. Gemoy dan Kemayu nama mereka.
“Meeooooong!” suasana menjadi gaduh saat 3 wadah kecil hanya terisi sedikit. Play langsung melahap nikmat dan 2 adiknya berebutan makan.
“Ah sudah habis saja.” gerutuku ketika isi toples tinggal remahan kecil-kecil. Memberi makan 3 perut tidak cukup 1 kg makanan kucing per minggunya. Paling tidak kemasan tanggung hanya bertahan 3 hari. Belum kalau mereka minta ayam micin. Aku akan buru-buru mengantri di Rocket Chicken dekat pasar begitu pulang bekerja. Hanya saat itu aku akan memberi mereka bonus yayam micin — hanya setelah bekerja. Uang honorer tidak akan cukup menghidupi kucing-kucing kelaparan dengan yayam goyeng setiap hari. Hanya ketika aku mendapat uang, aku akan membelikan mereka bonus. Itu realita. Bekerja untuk hidup. Hidup untuk bekerja.
***
“Mau kemana, simbok?” tanyaku melihat ibu mengambil timbangan badan di kamar.
“Ke posyandu.” begitu jawabnya.
Tidak begitu banyak kegiatan orang pensiunan yang dapat dikerjakan setiap harinya. Ibu yang pensiun sejak 7 tahun lalu begitu senang masih diundang membantu menimbang bayi dan penyuluhan kesehatan ibu-ibu di posyandu. Ibu mantan perawat dan bidan; tidak asing baginya bekerja dengan para ibu dan anak. Sedangkan aku tidak terlalu ngeh dengan cara mengurus bayi. Aku begitu takut kalau-kalau mereka menangis atau mengompol atau kelaparan. Apa yang harus aku lakukan? Seumur-umur aku hanya mengasuh kucing. Aku lebih paham tangis kucing daripada tangis bayi. Namun meski begitu, lima tahun terakhir aku belajar memahami orang. Aku belajar memahami kenapa mereka bisa sebegitu cerdas namun juga sebegitu dodol. Bahkan aku sendiri tidak memahami diriku; apa yang aku mau dan apa yang aku lakukan. Manusia memang makhluk yang unik.
Tidak jua sampai 3 jam kemudian Play mulai mengeong lagi. Eongannya panjang dan berulang-ulang sejak dia di halaman depan sampai masuk rumah sampai masuk kamar. “Meeeooong!” mengangguku menonton drama Mr.Robot yang mana konsentrasi aku arahkan pada layar laptop.
“Meeeong!” dia pasti sudah lapar.
“Sebentar sayang. Nanti lagi ya makannya? Tokonya belum buka. Nanti makannya. Nanti aku beliin yang banyak.” bujukku mengelus dahinya.
“Eeeee… eeeee.” eoangannya berlanjut namun dirinya sudah merebahkan diri di kasur.
Aku tatap dirinya. Kasihan memang Play yang selalu kelaparan! Aku bergegas menutup laptop dan membuka dompet. Tidak banyak uang yang aku simpan di rumah. Bulan ini aku tidak banyak bekerja, yang berarti kalau tidak bekerja aku tidak dapat uang. Aku buka hati-hati, takut isinya kosong. Untung masih ada beberapa lembar seratus ribu, hasil keringatku bulan lalu karena bulan ini belum gajian. Aku bukan orang yang boros.
Coba lihat kamarku dan kau tidak akan menemukan barang branded disana. Baju-baju, sepatu, dan tas adalah hasil begadang shopee tanggal cantik. Aku cukup beruntung mendapat tas 160ribu, sepatu 140ribu, dan baju 60ribu. Biarlah teman-teman berkata pakaianku tak pantas karena murah; lha wong gimana itu barang yang bisa aku jangkau. Sejak pandemi aku tidak banyak beraktivitas. Jatuhnya aku pun jadi malas karena sebentar lagi akan memulai hidup baru. Makanya aku nikmati kesehariannku tanpa repot-repot menggenjot kipas api agar dapur tetap mengebul.
Aku ambil seratus ribuan di dompetku yang kurus. “Oke, ini cukup untuk beli pakan 5 bungkus sekaligus kopi sachet karena sudah habis. Nanti minta duit ibu kalau sudah pulang.” Aku yakinkan kalau meminta uang orang tua adalah hal yang wajar untuk keadaanku ini. Bruhh, I have no money bruhh! Nanti saat keadaan sudah membaik, aku akan ganti uangnya. Lagian ini uang bukan untuk foya-foya, tapi untuk pakan kucing; kucing semua orang di rumah.
Aku starter motor supra kesayanganku dan gas pergi ke J.Co.J.Ci di ring road. Aku ambil 5 pak makanan kucing dan membawanya ke kasir. Mataku berhenti dan tertegun dengan boneka ikan yang dipajang di atas meja. Inginku tanyakan ke kasir berapa harganya. Aku sudah berkeinginan membelikan boneka itu untuk teman bermain Gemoy dan Kemayu. Aku lihat di Shopee harganya 12ribu, kalau bonekanya elektrik dan bisa bergerak harganya 50ribu. Namun aku urungkan niatku karena, pertama, aku takut uangku tidak cukup dan, kedua, aku berniat menunggu sale 7.7 agar dapat ongkir. Entah mana yang paling mendorong otakku intinya begitu belanjaanku selesai dihitung dan aku masukkan tas, aku berterima kasih ke kasir dan buru-buru keluar —- takut kalau keinginan beli boneka timbul lagi.
“Maaf ya Kemayu aku tidak jadi beliin boneka ikan. Besok ya aku carikan di Shopee flash sale kalau ada.” kubisikkan kenyataan ke Kemayu yang sedang tertidur.
Selesai menaruh belanjaan di lemari, aku ubek-ubek (geledah) wadah duit di atas meja. Ibu biasa menaruh uang belanjaan disana. Namun sayang aku sedang sial. Hanya ada beberapa lembar dua ribu dan seribuan setumpuk sedikit lengkap dengan topping recehan.
“Alamak kalau segini mah buat beli pakan kucing se-pak kagak cukup.” batinku kesal.
“Cari apa, Bri?” Ibu sudah pulang.
“Duit buat beli pakan kucing.” kataku.
“Engga ada duit disitu. Ini Ibu dapat uang dari Posyandu. Sepagian tadi cuma dapat 25ribu. Sama ada teh botol di kulkas. Ibu engga minum yang manis-manis.”
Si Dua-Puluh-Lima-Ribu |
Aku tertegun. Dua puluh lima ribu untuk waktu dari jam 8 hingga 12 siang. Edan po? Gilakah? Namanya juga kerja sosial, begitu kata orang-orang. Masih mending dibayar, biasanya hanya dapat nasi kotak. Astaga hidup dalam adat ketimuran memang butuh keikhlasan ya? Bukan bermaksud menyindir (eh tapi kok nulis seperti ini?) tapi itu hlo waktu itu mahal. Kalau endingnya buat makan sehari saja tidak cukup, mending cari pekerjaan lain kan ya? Eh kok jadi kapitalis. Lha gimana itu fakta! Eh ups, kabuuur!
Aku tidak menerima uang itu. Biarlah aku ambil saja dari tabungan. Aku biayai kucing-kucingku dari kerjaku sendiri. Kalau minta orang tua, yang uangnya hanya dua puluh lima ribu, apa engga malak namanya? Aku masuk kamar, hidupkan laptop, dan lanjut nonton petualangan Elliot dan Tyrell meng-hack sistem Evil Corp agar semua utang masyarakat manjadi nol. Aku tidak setuju dengan hack-hack seperti ini, namun semua ini terjadi karena ketimpangan sosial yang besar. Seperti yang aku alami.
“Udah beli pakan, Bri? Ini uangnya ambil saja.” kata Ibu meletakkan uang di atas meja kamarku.
Aku diam dengan mata menancap ke layar laptop namun pikiran masih bergelanyut di seputar uang. Aku sedih. Aku ingin menangis. Aku ingin murka terhadap hidup ini. Namun aku siapa? Hanya wayang yang di-obah-kan oleh nasib. Maka kutulis tulisan ini. Agar kalian para pembaca, kalian tidak sendiri. Kita manusia hanya hidup untuk bekerja, dan bekerja sampai mati.
Komentar
Posting Komentar