This blog does not represent the Fulbright Scholarship nor any other institutions mentioned here. It is the writer’s own to share her experiences to pursue scholarship and study abroad. For any official information, please refer to the official scholarship’s website.
Dari semua beasiswa yang aku daftar, Fulbright adalah beasiswa yang paling aku ‘segani’ (baca: takuti) karena hanya segelintir putra bangsa yang berhasil mendapatkannya. Setiap tahun ada sekitar 40an orang yang akan melanjutkan studi Master dengan beasiswa ini; jumlah yang sangat terbatas yang tentunya hanya bibit-bibit unggul yang berhasil diterima, begitu pikirku. Karena itu aku tidak percaya diri untuk mendaftar, walau akhirnya tetap aku daftar karena who knows mungkin saja ada keajaiban terjadi.
Tahun 2019, setengah tahun selepas aku lulus, aku mencoba mendaftar Fulbright Master untuk pertama kalinya. Bayang-bayang kegagalanku saat mendaftar UGRAD (Global Undergraduate Exchange Program) awal tahun 2016 masih menjadi momok menakutkan dan alasanku untuk tambah tidak percaya diri. Dan benar saja, bulan Agustus 2019 aku menerima email penolakan dari Fulbright. Namun rasa sedih tersebut terobati ketika beasiswa LPDP yang aku daftar di tahun yang sama memberitahukan bahwa aku lolos seleksi komputer. Aku sangat bersyukur diundang wawancara oleh LPDP di bulan Oktober 2019. Sayangnya, lagi-lagi permintaan maaf yang aku terima. Air mata langsung membanjiri pipiku saat malam aku buka akun LPDP. Air mata tersebut adalah tabungan kesedihan setahun itu karena beberapa bulan sebelumnya, tepatnya bulan Juni, Australia Award juga menolak diriku.
Namun hal tersebut seperti telah aku prediksi karena pada akhir tahun 2019 Chevening Scholarship melakukan hal yang sama.
Penolakan yang bertubi-tubi tersebut menghanguskan harapanku untuk melanjutkan studi ke English speaking countries seperti yang aku canangkan selepas lulus. Dua ribu sembilan belas adalah tahun terpurukku dan aku tidak yakin dapat melupakannya.
Tahun pun berganti. Sahabatku yang diterima LPDP pada tahun yang sama tidak kenal lelah menyemangatiku. Dia bahkan bersedia membimbingku dalam menulis personal statement (PS) dan study objective (SO) yang menjual. Dari yang aku lihat, PS dan SO ku memang amat berantakan. Aku tidak menyebutkan secara spesifik apa yang aku cari dan mengapa harus negara tersebut yang dituju. Serta, aku terlalu tergesa-gesa dalam mendaftar. Aku ingat sekali baru melakukan tes IELTS satu bulan sebelum deadline. Sungguh hal yang sembrono! Berbekal semangat yang masih berpijar lemah, aku revisi semua PS dan SO ku. Aku habiskan satu bulan lebih untuk menyiapkan essay yang perfect dan berdasar. Aku tuangkan semua pengalaman berhargaku selama kuliah serta pencapaian yang aku raih. Aku temui kembali dosen-dosen yang dahulu memberikan reference letter untukku mendaftar beasiswa. Tidak lupa aku minta doa beliau-beliau agar tahun ini aku dapat mengucapkan This is my year! Dan apakah this is my year terjadi? Yes(n’t) tapi tidak semudah itu.
Fulbright adalah beasiswa pertama yang aku daftar. Lalu kemudian aku fokus mendaftar pula ke New Zealand Scholarship, lalu ke Australia Award Scholarship, dan dengan berat hati mencoret LPDP serta Chevening karena aku tidak eligible untuk mendaftar beasiswa yang dibuka LPDP serta IELTS ku sudah tidak berlaku (untuk kasus Chevening). Selesai mengepos segala persyaratan yang ada, aku pasrah dan sedikit menahan tangis. Aku tahu aku bukan orang yang cerdas dan hanya berpengalaman pas-pasan. Rasanya untuk mencapai beasiswa adalah hal yang sulit (jangan ditiru ya sifat ini yang tidak percaya diri >.< Wkwkw aku orangnya memang tidak percayaan diri setelah banyak ditolak; atit rasanya >.<). Feeling sedih ini makin bertubi-tubi dengan adanya pandemi dan lockdown. Pekerjaanku kembang-kempis karena banyak kelas ditutup serta pembatasan sosial menyebabkan aku terkurung di rumah (baru setahun setelah lockdown pertama kali diberlakukan, aku dapat mengambil hikmah yaitu lockdown malah membuatku fokus belajar dan meraih apa yang aku capai saat ini). Aku was-was kalau-kalau beasiswa akan dibatalkan dan semua yang aku usahakan sia-sia.
Bersambung ke Maret – Mei: Mencoba Mencari Letter of Acceptance (LoA)
Komentar
Posting Komentar