Juni – Juli: Wawancara di Jakarta

 This blog does not represent the Fulbright Scholarship nor any other institutions mentioned here. It is the writer’s own to share her experiences to pursue scholarship and study abroad. For any official information, please refer to the official scholarship’s website.


    Juni tanggal 26 dua ribu dua puluh adalah hari bersejarah untukku. Setelah tertatih-tatih tanpa harapan, email undangan interview mendarat di inbox ku. Seakan aku tidak percaya dengan itu, aku scroll dan baca berulang-ulang email tersebut. YES tidak salah lagi namaku ada di daftar interviewee beserta 6 orang lain yang diharapkan hadir wawancara pada 15 Juli 2020 di Jakarta. Wew kurang dari 3 minggu untuk persiapan bok! Bergegas aku segera membalas email dari AMINEF dan scrolling lagi pengalaman wawancara Fulbrighter sebelumnya. Terima kasih kepada Mba Nanda, Mas Rian Djita, serta semua blog lain yang rajin aku buka untuk persiapan hari gemilang ini.

Undangan interview dari AMINEF


    Namun wawancara tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana dilakukan di berbagai daerah dan tidak di Jakarta saja. Dikarenakan covid yang semakin merajalela, kami diharapkan datang langsung ke kantor AMINEF di Jakarta. Saat itu aku gendadapan karena harus mencari penginapan serta Surat Izin Keluar-Masuk (SKIM) yang harus dipenuhi guna sampai Jakarta, tidak lupa rapid test yang aku ketar-ketir kalau hasil reaktif dan aku tidak bisa wawancara. Terima kasih kepada Mba Emma (Fulbrighter angkatanku yang juga dari Jogja) yang men-DM aku via IG untuk saling berkabar. Meskipun kami belum pernah bertemu sebelumnya, dia amat sangat ramah dan memberikanku banyak informasi soal SIKM dan juga wawancara. Saat itu aku tidak mengenal interviewee lain dan hanya datang seorang diri ke Jakarta.


    Aku intensif berlatih wawancara dengan membuat daftar pertanyaan serta jawaban yang konstruktif. Daftar pertanyaan seperti Mengapa kuliah di Amrik? Kenapa mau jurusan ini? Apa yang mau kamu cari di perkuliahan? Kamu sudah melakukan apa saja selama ini? dan lain-lainnya telah aku babat habis. Aku bersyukur karena lockdown aku tidak terlalu sibuk sehingga aku bisa fokus ke wawancara ini. Aku pun juga bersyukur telah sampai di wawancara LPDP dulu sehingga aku tahu seperti apa gambaran suasana wawancara.


    Karena wawancara ini pulalah aku bisa menikmati bandara baru New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo. Meskipun harus naik damri 2,5 jam dari kota, namun suasana bandara yang nyaman dan lengang serta sepi membuatku dapat berlatih wawancara. Aku sengaja naik shuttle terpagi jam setengah 8 untuk bisa komat-kamit di ruang tunggu menghafal teks. Walau kadang malu juga saat ada orang lewat dan melihat dengan heran aku yang ngomong sendiri. Wkwk untung pakai masker jadi tidak terlalu kentara komat-kamitnya. 

Chillin' out di Bandara Baru (NYIA)


    Sampai di Halim Perdanakusuma di sore harinya, aku langsung naik Gojek ke penginapan. Tubuhku langsung tepar walau naik pesawat singkat. Aku tidur sejenak dan menge-charge energi untuk wawancara besok. Ganbate! 

    Jadwal wawancaraku adalah pagi jam 09.00. Hari itu cerah walau sempat hujan subuh dini harinya. Jam 08.00 aku ditelpon staf AMINEF yang memastikan aku akan hadir wawancara. Aku iya-kan akan hadir dalam 20 menit karena memang penginapanku hanya 3 km dari gedung tujuan. Aku hadir jam setengah 9 dan langsung naik ke lantai 11. Disana suasana sepi dan hanya ada 1 orang yang antri. Ternyata dia adalah interviewee yang sama-sama dari Jogja. Dia seangkatan denganku dan rumahnya juga tidak jauh dariku – kami hanya beda kecamatan! Wkwkw kalau dipikir-pikir lagi kami adalah tetangga dekat yang malah bertemu di kota terjauh. Kami berbincang-bincang sebentar serta bertukar IG dan berjanji akan berkumpul dahulu selepas wawancara. Dia masuk wawancara jam 9 dan aku masih menunggu setengah jam lagi. Tidak berapa lama ada interviewee lagi yang masuk, dan ternyata dia juga dari Jogja. Rumahnya tidak jauh dari kampusku. Tuh kan beneran kami itu yang diundang wawancara cuma tetanggaan! >,< Lalu jam pun berdentang ke 9.30 dan wawancara dimulai! 

    Sebelum wawancara ada briefing singkat dari staf AMINEF yang juga berperan sebagai moderator. Intinya wawancara tidak akan lebih dari 30 menit dan 3 menit awal digunakan untukku berkenalan dengan para interviewer. Aku hanya ingat ada 3 pewawancara; 1 orang US yang sedang penelitian disini dan 2 orang Indonesia yang merupakan alumnus Fulbright. Setelah kenalan singkat nama, pekerjaan, universitas asal, dan tujuan jurusan S2, dimulailah pertanyaan dari panelis. Para panelis banyak bertanya dari tulisan yang aku beberkan di study objective dan personal statement. Seperti bertanya kenapa memilih Master TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) dan bukannya Public Relations padahal aku punya prestasi cukup bagus di bidang tersebut yang aku kemukakan secara gamblang di PS ku. Pertanyaan yang aku anggap cukup berat ialah saat ditanyakan Kenapa siswa Indonesia menganggap menulis panjang itu tolak ukur essai yang bagus dan bukan keefektifan dalam penyampaian yang jadi pokok utama? serta Siapa sebenarnya yang perlu dibenahi dalam hal pendidikan? Gurunya kah? Pemerintah kah? dan aku lumayan pusing dalam menjawabnya. Hehe. Justru daftar universitas yang telah aku susun rapi dan siap aku kemukakan tidak ditanyakan sama sekali selama wawancara, serta alasan kenapa memilih Amerika pun juga tidak ditanyakan. Sepertinya memang pertanyaan yang sering dianggap wajib tersebut hanya bersifat optional. Akhirnya 28 menit berlalu dan aku dinyatakan selesai wawancara. Aku pun pergi keluar dan menyemangati Zhafira (yang lalu juga menjadi Fulbrighter bareng aku) dalam menghadapi wawancaranya. 

    Sehabis wawancara, aku dan 2 interviewee tadi bercakap-cakap sejenak di lobi gedung. Kami tidak bisa berlama-lama berkumpul karena PSBB masih ketat dan kerumuman dilarang. Akhirnya aku pulang ke penginapan untuk beristirahat sejenak sebelum pulang keesokan harinya. 

    Secara menyeluruh, aku merasa lebih puas wawancara di Fulbright ini ketimbang wawancara LPDP yang memang aku akui kurang persiapan. Meskipun aku juga tidak sepenuhnya yakin aku diterima karena aku sadar hanya segelintir saja yang bisa masuk. Aku legakan diriku bahwa aku sudah meningkat tahun itu dari tahun lalu yang langsung ditolak tanpa diundang wawancara. Ada suatu catatan penting yang dapat aku simpulkan dari wawancara ini: be prepared and confident! Mungkin nampak sepele kedua hal ini, namun aku dapatkan perbedaan yang cukup besar dengan menyiapkan lebih baik dan berpikir kritis lebih tajam. Gunakan contoh disekitar anda dan di pekerjaan anda; analisis apa yang kurang dan perlu diperbaiki. Lalu ungkapkan kalau hal tersebut urgent untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, sebagai guru yang dahulu kuliah untuk mengajar kelas konvensional, aku sangat kesulitan dalam mengajar online. Sedangkan pandemi seperti ini mungkin saja bisa terjadi kembali dan para siswa dipaksa online lagi. Lalu kalau tidak ada persiapan lagi, mau jadi apa pendidikan di negeri ini? Untuk itulah selagi aku masih ada kesempatan untuk menimba ilmu, aku berencana mengail ilmu ke negeri Paman Sam yang termasuk negara maju dan belajar yang namanya Educational Technology. Kelas online bukanlah hal yang luar biasa di negara tersebut karena sejak beberapa tahun silam banyak universitas membuka kelas jarak jauh. Untuk itulah aku mendaftar beasiswa Fulbright ini. 


Komentar

  1. Degdegan bacanya, terima kasih atas ceritanya, saya juga termasuk yang gagal tahun kemaren dan mau berjuang lagi tahun ini untuk bisa sekolah master di luar negeri! Btw, Salam Kenal!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.. pasti ada hasil dibalik usaha keras. Semoga berhasil! Salam kenal juga dan terima kasih telah membaca :)

      Hapus

Posting Komentar