Maret - April : Medical Check-Up dan Vaksin MMR di RSUP Sardjito dan Klinik Raisha Yogyakarta (Plus Drama Singkat Shortfall LAGI!)

This blog does not represent the Fulbright Scholarship nor any other institutions mentioned here. It is the writer’s own to share her experiences to pursue scholarship and study abroad. For any official information, please refer to the official scholarship’s website.

 

Setelah menyetujui University of Arizona sebagai host institution untuk berkuliah besok Agustus, acara selanjutnya ialah medical check-up. AMINEF langsung mengirimkan file pdf yang harus diisi oleh kita dan juga oleh dokter yang memeriksa. Semua isian diwajibkan menggunakan bahasa Inggris.  Khusus untuk medical check-up semua biaya ditanggung pribadi, jadi harap alokasikan tabungan untuk ini. 


      Dokumen yang perlu diisi lumayan tebal. Intinya kita diminta untuk cek kesehatan badan dan riwayat penyakit serta vaksin MRR, polio, dan campak. Awalnya saya takut kalau rumah sakit di Jogja tidak ada yang malayani vaksin MRR  (Measles, Mumps, and Rubella) dewasa. Karena jika tidak ada rumah sakit yang punya vaksin ini, maka mau tidak mau harus mencari ke luar kota; pilihannya ke Solo atau Semarang. Untungnya hari Kamis 4 Maret pagi-pagi saya datangi poliklinik medical check-up RS Sardjito dan BISA! 


Amplop hasil X-Ray


Saat itu memang covid masih merajalela. Lantai 4 tempat medical check-up berada penuh dengan manusia. Aku sudah helpless “wah pasti mengantri ini” dan dengan enggan melangkah masuk ruangan. Namun ternyata dugaan saya salah. Saya satu-satunya pasien medical check-up pagi itu. Mungkin karena pandemi dan perjalanan ke luar negeri ditangguhkan jadi tidak banyak pasien yang cek medis. Suster yang berjaga sangat ramah dan menyilakan saya duduk sembari bertanya mau studi dimana. Saya keluarkan dokumen medis yang telah saya print sambil menjawab kalau mau ke US. Suster memeriksa dokumen tersebut sambil berdiskusi dengan suster lainnya soal vaksin apa yang perlu diberikan. Saya tidak membawa sama sekali kartu imunisasi waktu bayi (yang saya yakini telah hilang dan tidak saya re-check di lemari rumah karena tidak tahu bentuknya seperti apa wkwkw) dan disarankan untuk vaksin ulang saja. Namun hari itu saya tidak jadi divaksin karena untuk vaksin MMR diharuskan screening terlebih dahulu di Jumat esoknya dan apabila hasilnya negatif maka baru bisa divaksin MMR Senin depannya.


Jumat esoknya saya disuntik PPD atau tuberkulin test/tes mantoux (harga IDR 225k) untuk mengetahui apakah ada sakit TBC. Suntikan ini diberikan di tangan kanan dan diminta kembali ke RS dalam 78 jam atau 3 hari. Selain itu pada hari itu juga saya sempatkan untuk tes urin (IDR 38k) untuk mengetahui sedang hamil atau tidak (untuk keperluan vaksin karena vaksin lebih baik diberikan dalam keadaan tidak hamil). Saya kembali hari Seninnya dan dokter memeriksa apakah ada pembengkakan atau tidak pada lengan kanan saya. DEG tangan saya yang bengkak kemerahan diukur dan hasilnya POSITIF! 


Tangan bengkak >10mm mantoux positif 


        Saya sempat akan menangis waktu itu karena hasil tersebut. Ukuran bengkak saya lebih dari 10mm yang merupakan batas kenegatifan tes. Akhirnya dokter menyarankan saya untuk tes IGRA yang lebih reliable hasilnya. Memang tes mantoux/PPD ini biasanya digunakan untuk anak dibawah 10 tahun dan memiliki false negative yang tinggi. Saya dengan lemas menyanggupinya. Segera setelah keluar ruangan saya disodorkan lembar rujukan ke lab untuk tes IGRA (seharga IDR 750k) dan langsung ke lab yang masih satu lantai dengan klinik MCU (Medical Check Up). Darah saya diambil kira-kira 2 tabung kecil dan hasilnya dapat dilihat dalam 24 jam. 


Saya kembali lagi ke RS 2 hari kemudian karena hari kemarin saya mengurus perpanjangan paspor. Saya takut-takut cemas apabila hasilnya positif lagi. Saya komat-kamit berdoa untuk dimudahkan. Saya juga chat teman saya seorang calon Fulbrighter untuk berbagi cerita. Singkatnya hasil IGRA saya POSITIF lagi. Saya lemas-selemas lemasnya. Saya benar-benar takut apabila hasil positif ini akan mempengaruhi beasiswa saya ke US. 


Dokter pun mengatakan kalau IGRA positif belum tentu positif TBC. Mungkin saja didalam tubuh saya terdapat bakteri TBC namun laten. Bisa juga tubuh saya pernah terserang TBC namun sudah sembuh dan tidak ada bakterinya lagi namun sel memori didalam tubuh ini masih ingat sehingga saat di-IGRA menunjukkan hasil positif (mirip kasus dimana tubuh yang telah divaksin COVID-19 menunjukkan hasil reaktif saat di-rapid tes). Satu-satunya jalan untuk memastikan kembali apakah benar ada TBC atau tidak ialah dengan rontgen thorax (sesuai juga dengan yang diminta di formulir MCU Fulbright yaitu apabila Tuberkulin test dan atau IGRA positif maka diwajibkan rontgen X-Ray). 


Saya dengan lemas menyanggupi kembali. Saat itu saya benar-benar mau menangis. Rasanya seperti sudah berjuang namun pupus di jalan. Apalagi sudah sejauh ini melangkah. Ibaratnya tinggal dua langkah lagi dan sampai namun terhadang badai besar. Dokter menenangkan dengan mengatakan kalau Indonesia adalah negara endemi TBC, jadi ‘wajar’ kalau IGRA positif karena sepertiga penduduk pernah bersinggungan dengan bakteri TBC ini. Karena hasil inilah saya lebih aware dengan tubuh saya. Saya kurangi jajan tidak perlu dan mulai mengonsumsi buah (walau 3 hari kemudian saya jajan jajan micin lagi. Wkkwkw dasar jangan ditiru ya).


Saya pun menjalani X-Ray saat itu juga (IDR 152k). Saya masih berharap tidak ada yang salah dengan paru-paru saya. Keesokannya saya kembali lagi menemui dokter dan dokter membacakan hasil X-Ray. Alhamdulillahhirobbilalamiin paru-paru saya sehat. Tidak ada bercak-bercak putih seperti yang terjadi pada penderita TBC. Ukuran paru-paru saya juga normal. Diafragma juga melengkung sehat. Intinya tidak ada masalah. Saat itu juga saya bernapas lega. Dokter lalu juga memeriksa bagian leher saya untuk mengecek apakah terdapat benjolan atau tidak (karena biasanya TBC juga menyebabkan benjolan di leher). Namun sekali lagi tidak ada. Bobot saya juga normal, tidak turun seperti penderita TBC. Pokoknya semua normal kecuali hasil IGRA dan tuberkulin tests yang positif. 


Karena tubuh sehat tidak ada gejala apa-apa, dokter mulai mengisi formulir MCU dan menyatakan saya sehat untuk menempuh pendidikan di US. Setelah itu saya langsung suntik MMR (IDR 525K) dan diberikan sertifikat vaksin berbahasa Inggris sebagai bukti. Sayangnya saat itu MCU tidak punya stok vaksin DPT, sehingga saya harus mencari vaksin di luar RS. Semua hasil lab dimasukkan kedalam 1 amplop besar dan saya dipesan kalau ada revisi jangan segan-segan datang kembali. Ramah banget pokoknya pelayanan di MCU Sardjito. TOP banget pokoknya! Recommended untuk kalian yang mau MCU silakan ke RS Sardjito yess! Lengkap, ramah, solutif, dan cepat #promosi.


Perjalanan saya berlanjut pada Senin harinya. Saya keliling Jogja mencari vaksin DPT. Sasaran saya yang pertama ke RSUD Kota Jogja/Wirosaban. Sayangnya DPT disana hanya untuk anak-anak. Saya diminta mencari ke RS Swasta yang biasa menyediakan vaksin untuk dewasa. Saya pun searching di google dan menemukan Rumah Vaksin Raisha di jalan Magelang dekat TVRI. Disana tersedia vaksin DPT seharga IDR 350k (plus surat dokter seharga 5k). Saya diminta kembali saat sore atau malam karena dokter biasa berjaga sampai pukul 20.00 WIB. Saya pamit dan kembali malam harinya selepas maghrib. Hehe lucu sebenarnya karena didalam klinik adanya keluarga kecil yang antri memvaksinkan anaknya. Hanya saya saja yang pasien dewasa disana. Tidak butuh waktu lama lengan kiri saya disuntik DPT. Cuss lalu klinik juga memberikan kartu vaksin dan sertifikat vaksin dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah tidak perlu nambah biaya untuk menerjemahkan. 


Kartu imunisasi saat bayi (kiri) dan surat vaksin (kanan)



Sebelumnya, saya bertanya pada ibu saya apakah masih memiliki kartu vaksin saat  saya bayi. Dan ternyata ibu masih menyimpannya! Saya senang bukan kepalang *bagi yang tidak memiliki kartu vaksin saat masih bayi, bisa hubungi puskesmas terdekat untuk minta dibuatkan kartu vaksin (walau tidak setiap puskesmas mau membuatkan kartu vaksin). Saya scan kartu vaksin saya beserta sertifikat vaksin dari Sardjito dan Raisha untuk dilampirkan ke MCU form dan dikirim ke AMINEF untuk dicek. 


Sayangnya form saya tersebut dikembalikan dan diminta merevisi sedikit. Semua halaman wajib diisi meskipun hanya ditulis “NO” untuk menyatakan riwayat kesehatan. Lalu nama dokter harus ditulis tangan/diketik dan bukan stempel nama saja. Akhirnya saya kembali ke RS untuk perbaikan. Cukup lama perbaikannya karena menunggu dokter ada, kira-kira 3 hari saya tinggal. Setelah diperbaiki saya kirim ulang ke AMINEF. Sekalian saat itu saya juga menerjemahkan sertifikat vaksin saya saat masih kecil karena masih dalam Bahasa Indonesia. Semuanya harus ada lampiran Bahasa Inggrisnya dan boleh diterjemahkan ke sworn translator maupun penerjemah biasa. Saya terjemahkan ke pusat Bahasa di kampus saya. 


Hari itu juga AMINEF kembali memberikan revisi, kali ini sangat minor sekali yaitu nama dokter harus ditulis sesuai tempat yang tersedia di form. Oala setelah saya cek ternyata dokternya memberi nama langsung di bawah tanda tangannya. Jadilah saya esoknya balik lagi ke RS. Selain itu hasil tes tuberkulin dan IGRA serta rontgen thorax wajib disertakan dalam Bahasa Inggris pula. Karena hasil rontgen saya salah nama R menjadi N, saya pun meminta MCU untuk mengeprintkan ulang. Alhamdulillah mereka masih bisa dan tidak men-charge saya dengan biaya tambahan. TOP Markotop emang Sardjito. Tambahan lagi hari itu dokter sedang berjaga di klinik jadi langsung dapat dimintai tanda tangan. Alhamdulillah pokoknya sehari langsung jadi revisiannya. Saking seringnya saya ke Sardjito hingga suster MCU yang berjaga hapal nama saya. Hehe. 


Namun hari itu bukanlah hari terakhir saya ke klinik MCU karena pada tanggal 12 April saya harus kembali ke sana untuk disuntik MMR kedua.


Segera setelah semua suntikan lengkap, saya scan semua formulir MCU beserta printilan-printilannya (kartu vaksin dan hasil lab PPD, IGRA, thorax beserta terjemahan Bahasa Inggrisnya) dan dikirimkan ke PIC AMINEF. Saya juga bertanya terkait vaksin covid-19 yang dianjurkan oleh Fulbright untuk dilaksanakan. Sayangnya karena vaksin covid di Indonesia masih terbatas pada kalangan tertentu saja, saya tidak bisa menyanggupi suntik vaksin Covid. PIC AMINEF mengatakan tidak masalah tidak vaksin, asal pihak universitas tujuan memperbolehkan tidak suntik Covid. Saya cek di website University of Arizona dan alhamdulillah universitas tidak mewajibkan vaksin Covid bagi mahasiswa international. Walau sebenarnya saya sudah mendapat email dari universitas untuk suntik vaksin di kampus bulan April. Huhu tapi posisi di bulan tersebut saya kan masih di Indonesia. 


Email undangan vaksin Covid-19 dari UofA


Tidak lupa karena UofA meminta untuk mengupload hasil vaksin MMR dan DPT ke akun siswa saya, saya segera mengupload surat keterangan vaksin berbahasa Inggris disana. Butuh sekitar 2 hari sebelum akhirnya email dari otoritas kesehatan univ mengirimkan saya keterangan kalau surat vaksin telah diterima dan saya tidak ada tanggungan vaksin lagi. Yeayy!


Vaksin MMR dan DPT clear!


RINGKASAN BIAYA MCU dan VAKSIN

Biaya ini bervariasi tergantung rumah sakit atau klinik tempat anda melakukan MCU dan vaksinasi. Biaya bisa lebih mahal maupun lebih murah.


PPD test/Mantoux : Rp225.000,00

IGRA test : Rp750.000,00

Rontgen thorax : Rp152.000,00

Vaksin MMR 2x@572.000 : Rp1.144.000,00

Vaksin DPT : Rp355.000,00

Terjemah dokumen 4x@60.000,00 : Rp240.000,00

——————————————————————— +

TOTAL : Rp2.846.000,00

Selesai mengirimkan formulir MCU, yang harus dilakukan selanjutnya adalah MENUNGGU. AMINEF akan mengirimkan MCU kita tersebut ke IIE dan IIE akan mengeceknya. Saya khawatir sekali apabila hasil IGRA yang positif akan mempengaruhi grant. Namun teman-teman yang lain juga ada yang mengalami hal yang sama dan tidak diminta apa-apa oleh AMINEF. Saya pun juga tidak dimintai keterangan apapun oleh PIC. Saya agak sedikit lega karena bukan saya sendiri yang positif. Karena MCU sudah saya anggap kelar, maka saya tinggal mencari housing sembari menunggu Terms of Appointment dari IIE. Cuss ke pos selanjutnya ya!


***


        Sebelum ke post selanjutnya, akan saya ceritakan drama shortfall yang bikin deg-deg serr... Jadi setelah lega mendapat universitas, dan telah membayangkan betapa menyenangkannya bermain pasir bermandikan cahaya gurun yang indah, ada notifikasi masuk ke hape. Ah paling juga pemberitahuan buat medical check-up, pikirku. Eh salah dong! 


            Dengan mata berkaca-kaca kupandangi angka $1,812 (26 jeti) yang tertera disana. Saya kena shortfall lagi, permisahhh! 

Drama shortfall


         Jadi dramanya ialah pihak admisi UofA salah menghitung biaya, sehingga kami yang awalnya telah ter-cover biaya Fulbright menjadi shortfall sekitar nominal diatas dikali 2 tahun kuliah. Intinya ialah saya shortfall 52 juta untuk kuliah 2 tahun besok. Deg deg serr rasanya mau nangis saja kalau ingat. Uang segitu ga punya, mau minta orang tua ya malu dong ya >.<. Untungnya AMINEF dan IIE tetap mengusahakan mencari dana tambahan yang ada. IIE lalu mengontak pihak jurusan untuk memberitahu keadaan ini. AMINEF sendiri juga menyakinkan saya kalau misal UofA tidak mampu memberikan dana lagi,  ditambah saya tidak mampu menutup shortfall, maka solusi terbaik adalah mencari universitas lain yang masih buka. APA? Mencari universitas lain? Ya ampun aku udah cinta Arizona ini huhu. Namun ketimbang beasiswa hangus ya gapapa sih cari universitas lain karena posisi juga pendaftaran saya ke ISU dan Washington State telah di-withdraw oleh IIE sehingga tidak mungkin masuk lagi. 


       Beberapa hari kemudian, ada email masuk dari Delta Kappa Gamma Scholarship yang menyatakan saya mendapat fellowship sebesar $4,000! Fellowship ini diberikan khusus untuk para wanita yang bekerja sebagai pendidik/guru. Ya ampun alhamdulillah ada pihak lagi yang mempedulikan kami para guru ini. Rasanya indah sekali dunia begitu tahu ada beasiswa ini. Meski begitu, awalnya saya tidak percaya dengan email tersebut karena yang mengirim bukan dari AMINEF maupun IIE. Akhirnya saya tanyakan ke AMINEF dan memang benar saya mendapat dana tambahan. Artinya, shortfall saya 50an juta tadi bisa tercover dengan scholarship ini. Sisa malah. Wkwkw alhamdulillah rezeki anak soleha...


Informasi fellowship dari Delta Kappa Gamma

       *selain saya, ada 2 Fulbrighter lain yang menerima fellowship ini. Setelah menerima kabar tambahan beasiswa ini, kami pun diminta untuk mengisi formulir pernyataan persetujuan menerima fellowship dan mengirimkannya ke alamat yang tertera untuk diproses.


        Kebahagiaan bertambah lagi ketika pihak jurusan TESL UofA mengiyakan untuk memberikan cover $2,000 pertahun selama saya kuliah. Ya ampun sumpah baik banget deh University of ARIZONA! Sehingga singkatnya, dari shortfall menjadi overfull. Hehe. Sekali lagi terima kasih saya ucapkan kepada Fulbright, AMINEF, IIE, University of Arizona, dan tentunya Delta Kappa Gamma yang telah membantu saya dan ribuan orang lainnya untuk mengenyam pendidikan :).


Tambahan dana dari Jurusan TESL UofA



Komentar