This blog does not represent the Fulbright Scholarship nor any other institutions mentioned here. It is the writer’s own to share her experiences to pursue scholarship and study abroad. For any official information, please refer to the official scholarship’s website.
Seminggu setelah iBT, tepatnya pada 5 Oktober 2020, kami melakukan tes GRE masih di kediaman masing-masing. Aku sumpah deg-degan sekali dengan tes ini, terutama deg-degan di bagian quantitative alias matematikanya! Sejak dahulu matematika adalah kelemahanku. Aku tidak paham apa itu peluang, apa itu garis x dan y, apa itu persamaan, apa itu aljabar. Pokoknya kalau sudah bertemu angka, aku angkat tangan. Matematika pulalah yang jadi nilai terjelekku saat UN SMA dahulu. Hehe jadinya sistem kebut seminggu hanya aku fokuskan ke bagian verbal reasoning yang banyak menghafal kata. Silakan download aplikasi flashcard Mangosh GRE Vocabulary di smartphone masing-masing. Aplikasi ini lumayan membantu dalam menghafal kata-kata sulit yang ‘mungkin’ muncul di tes.
#TIPS: Silakan ke website Princeton Free GRE Practice. Website ini menyediakan latihan soal GRE secara gratis meskipun tidak terlalu banyak. Jangan belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) karena GRE bukan tes biasa bokk.
Aku kira dengan kemampuan iBT reading yang sudah advanced, aku dapat menaklukan GRE verbal dengan mudah. Ooo jangan kepedean dulu, fellas! Pada akhir tes nilai quantitave dan verbalku sama-sama 146! Juelekk sekali sumpah >.<. Aku amat sangat kecewa dengan nilaiku ini. Aku sangat mengharapkan paling tidak nilaiku 150 (bahkan nilai 150 pun bukan nilai yang bagus, maka kalau sampai kurang dari itu berarti memang benar-benar buruk :’( ). Oke aku akan belajar lagi. Mungkin saja aku diberikan kesempatan untuk retake GRE.
Dua puluh satu Oktober hasilpun keluar. Alhamdulillah tidak ada masalah untuk iBT karena nilaiku 2 poin diatas 100 (walau mepet banget itu dari batas minimum). Yang jadi masalah adalah GRE. Walau aku sadar aku memang geblek kalau soal matematika, namun rasa kecewaku mendidih karena skor verbalku tidak memuaskan. Namun disisi lain aku pun tenang karena programku tidak me-require GRE. Namun apakah itu berarti aku lolos dan tidak mengulang GRE? Ow ow ow jangan senang dulu.
![]() |
Hasil iBT dan GRE take pertama |
Setelah hasil kedua tes ini keluar, submission plan pun juga keluar. Tanggal 31 Oktober aku dihubungi PIC ku mba Nabila untuk mempelajari submission plan dari IIE. Sedih sekali saat pilihan pertamaku, University of Southern California (USC), tidak dikabulkan oleh IIE dikarenakan Cost of Attendance nya lumayan tinggi dan support yang diberikan tidak pasti ada. Namun 3 universitas yang lain diberi lampu hijau karena good fit dan ada history of support. Ketiga universitas tersebut ialah sebagai berikut.
Arizona State University
Student's 2nd preference. Good fit w/ relevant courses. History of support.
Iowa State University
Strong TESL program w/ focus in computer-assisted language learning matching interests well. 3rd preference. History of support.
University of Arizona
4th preference. Strong TESL program covering broad topics. Good fit. History of support.
Washington State Unievrsity
Program combines English language education w/ technology integration in education, matching student's interests very well. History of support.
IIE juga mengusulkan satu universitas untuk menggantikan USC yaitu Washington State university (WSU) dengan program Language, Literacy, and Technology (LLT). Hmmm menarik sepertinya program ini. Aku langsung browsing ke websitenya dan menemukan bahwa program ini sangat bagus sekali dalam memberikan course mengenai integrasi teknologi kedalam kelas. Aku pun menjadi tertarik dengan program ini meskipun ini berarti kelasku nanti tidak fokus ke Bahasa Inggris namun general ke semua bahasa. Setelah menimbang-nimbang aku putuskan untuk menyetujuinya dan menaruh WSU ke nomor 4, karena aku masih membutuhkan teori Bahasa Inggris sebagai dasar utama dan TESOL masih aku yakini sebagai goalku.
Pilihan pertamaku masih jatuh pada Arizona State University (ASU) Master TESOL karena ASU menyediakan program 1.5 tahun untuk S2. Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa engga memilih yang sekalian 2 tahun saja? Engga rugi jauh-jauh ke Amrik hanya untuk 1.5 tahun? Well, memang sih rasanya sayang kalau harus diskon satu semester. Namun aku ingat umur yang sudah tua ini dan lebih cepat aku kembali maka lebih cepat pula aku menerapkan ilmu yang didapat (halah bilang aja lu engga bisa jauh-jauh dari kucing-kucingmu, iya kan? :p). Selain itu, ASU juga termasuk bagus untuk kategori graduate education (masih dalam 15 besar) dan fasilitas yang ditawarkan juga joss-joss. Dosen-dosennya pun banyak yang ahli dalam educational technology, serta kampus yang luas dan banyak mahasiswa dapat membuatku lebih aktif mengenal orang dari berbagai negara. Lebih positifnya lagi, ASU merupakan partner Fulbright yang erat karena setiap tahun pasti ada Fulbrighter yang berkuliah disana baik di jenjang doktoral, master, maupun sebagai teaching assistant.
Pilihan kedua ialah University of Arizona (UofA). Universitas ini terkenal dalam bidang Arts and Humanities nya dan jurusan TESL yang ditawarkan sangat luas (total SKS nya 36, lebih banyak dari ASU, Iowa State, dan WSU yang masing-masing 30 SKS). Aku lihat course yang ditawarkan benar-benar dahsyat seperti Technology and Language Teaching, Research in Second Language Acquisition, dan Special Topics. Luas sekali kan? Tidak hanya berfokus pada pengajaran namun juga fokus pada penelitian dan English as a global language. Pantas saja SKSnya banyak, hla komplit sekali UofA ini. Selain itu, di sini juga ada Professor Noam Chomsky, bapak Lingusitik Modern yang amat sangat brilliant (anak linguistik pasti tahu). Kalau kuliah disini, bisa ikut kelas tamu Prof. Chomsky yang diadakan gratis dan khusus untuk mahasiswa Univ. of Arizona saja.
Pilihan ketiga jatuh pada Iowa State University (ISU). Universitas ini diperkenalkan oleh mas Arief mentorku terkece. Selain itu, ada juga Fulbrighter yang sedang mengenyam S3 disini selepas S2nya yaitu mba Nanda yang blognya banyak aku baca. Program-program ISU juga lengkap dengan spesialiasi di Computer Assisted Language Learning (CALL). Kampusnya juga indah sekali dan adem karena ada di Iowa yang bersalju. Rasanya tenang banget lah kalau lihat kampusnya yang klasik. Hihi.
Lalu yang terakhir ialah Washington State University (WSU). Sebelumnya aku tidak menyangka kalau jurusan yang dipilih boleh bernama selain “TESOL” maupun “TESL”, makanya aku selalu skip jurusan yang tidak bernama Teaching English. Wkwk ternyata sah-sah saja memilih jurusan dengan nama umum seperti ini. Huhu tahu gitu researchku aku perluas lagi ya ke arah ini. Meski mata kuliah di WSU sangat tempting untuk mereka-mereka yang gemar dan pinisirin akan technology-integrated classroom, namun aku tetap keukeuh mau yang Teaching English saja, takut nanti banyak matkul yang harus dipelajari dari 0 (baca: mau cari aman >.<). Juga terkadang birokrasi di Indonesia agak ribet, takutnya engga linier lah, engga sesuai jurusan S1 lah, dkk. You know what I mean, right?
Wes akhirnya empat kampus telah dipilih dan disetujui, baik oleh aku maupun IIE, maka bab selanjutnya adalah penantian!
Belum ada dua minggu tepatnya pada 19 November sore saat sedang mengajar, ada whatsapp masuk dari PIC ku yang menginfokan kalau IIE meminta daku untuk RETAKE iBT dan GRE. What? Retake? Tuing tuing kepalaku langsung berkunang-kunang. Terngiang-ngiang sebulan belakangan ini aku hanya hahahahihihi merasa aman dari retake karena iBT telah terpenuhi dan GRE tidak di-require oleh university, namun salah terka lagi aku, Fergusso! Untungnya aku sempat mempelajari buku Barron’s Vocabulary dan sedikit-sedikit menghafal flashcard Mangosh. Langsung saja aku cek jadwal yang tertera yaitu ke Jakarta untuk retake GRE pada 25 November serta retake iBT pada 5 Desember di IONs Jogja. Tuwing tuwing kembali kepalaku pening karena posisi masih PSBB walau transportasi lokal telah diperbolehkan jalan dengan rapid test. Sebenarnya ada pilihan untuk home edition namun aku prefer ke test center karena takut listrik mati dan kejadian tidak menyenangkan lainnya yang berhubungan dengan teknologi (gaptek euyy). Tidak ada seminggu aku pun ngebut belajar GRE dan alhamdulillah skor Verbal naik ke 152 walau skor Quantitative tetap 146. Huhu sedih sekali daku. Matematika oh matematika.
![]() |
Hasil retake iBT dan GRE |
Lebih sedihnya lagi saat retake iBT. Kukira test center bakalan sepi karena pandemi ternyata aku salah lagi oh my friends. Lab komputer IONs beneran penuh dan membuat konsentrasiku buyar terutama di bagian Writing section 1. Aku sama sekali kesulitan mendengar apa yang lecturer nya sampaikan dan writingku sebagian aku karang. Akhirnya beberapa minggu kemudian hasil keluar dan benar saja nilai Writingku terjun bebas 4 poin ke angka 20. Remuk hati ini melihatnya. Untuk Speaking alhamdulillah naik 2 poin. Overall, nilai retakeku justru turun 2 poin ke PAS banget di skor 100 :(. Aku sedih namun masih aku syukuri paling tidak nilaiku tidak dibawah ketentuan walau PAS pake banget di ambang batas ketentuan. Desember memang benar-benar gerimis.
Oiya, semua biaya tes dan akomodasi gratis tis tis dan disediakan oleh AMINEF. Kita tinggal menetapkan saja mau tanggal berapa lalu nanti PIC yang akan mendaftarkan iBT dan GRE kita. Penginapan juga sudah ditanggung meski status masih alternate candidate. Nanti kita tinggal arrange sendiri transportasi ke tempat tes. But, hey, Gojek dan Grab bertebaran dimana-mana jadi aman lah transportasi tinggal instal aplikasi saja!
Komentar
Posting Komentar